Blog Archives
200 Years of Pride and Prejudice
Nggak sengaja menemukan postingan tentang perayaan 200 tahun hari jadinya novel legendaris Pride and Prejudice karya Jane Austen. I was wowed by the enthusiasm of Janeiacs around the world. The anniversary is a big deal. Check out the link here
Seandainya perayaan Pride and Prejudice ini ada di Jakarta, dengan bahagianya gue bakalan menghadiri. Bayangkan aja, ada pameran novel edisi pertama Jane Austen, cosplay, pembacaan puisi/potongan novel, dan nonton film bareng di teater. Juga diskusi novel bersama fellow Janeites.
Karena gue juga baru tahu tentang perayaan ini setelah pertengahan lebih tahun 2013, gue tidak akan mengadakan event khusus.
Ingin merasakan hype-nya perayaan anniversary Pride and Prejudice dengan lanjut baca novel tersebut yang sempat tertunda.
Gue juga akan menonton filmnya yang dibintangi oleh Keira Knightly.
Happy anniversary, Pride and Prejudice ^^
Selamat menikmati hari libur.
Pic from here
Wishful Wednesday 17: Jane Austen
Wishful Wednesday 17: Jane Austen
Ketemu lagi sama hari Rabu. This week’s obsession is Jane Austen. Gue kepengen melengkapi koleksi novel-novelnya dengan lengkap. Nggak muluk-muluk, cukup paperback terbitan Signet saja yang manis ini:
Lalu, selain novel, gue juga pengin banget punya pernak-pernik dan asesoris berbau Jane Austen. Kayak gini:
Nah, kalo ini bener-bener ngayal tingkat dewa. Kate Spade ngeluarin book clutch seri buku klasik. Sebenernya semuanya keren-keren, tapi berhubung minggu ini edisi Jane Austen, jadi ini wishlist gue yang entah kapan kesampeannya, karena harga satu tasnya $300-an *sesek napas*
Seperti biasa, yang mau ikutan Wishful Wednesday, check out Astrid’s blog here.
Selamat hari Rabu. God bless you.
[Book Review] The Red and the Black by Stendhal
Title: The Red and the Black
Original Title: Le Rouge et le Noir
Author: Stendhal
Publisher: Signet Classics
Published: June 6th, 2006 (First Published 1830)
ISBN: 0451530284
Language: English
Format: Paperback
No. of Pages: 544
Category: Classic Literature/Fiction/Historical Fiction/Romance
Setting: France
Book Blurb:
In December 1827, a French newspaper ran a story about a young man charged with the attempted murder of a married woman. The article fired the imagination of Marie Henri Beyle, and under the pen name Stendhal, he set to writing what was to become one of the great psychological novels of all time. “I will be famous around 1880,” he predicted in one of his many diaries. “I shall not go out of style, nor my glory go out of style.”
Set in a provincial French town and in Paris, The Red and the Black tells the story of Julien Sorel, a handsome and brilliant young tutor who is both hero and villain. Cold, opportunistic, and uncompromising with others—including his influential mistress—he follows his lust for power and wealth. At the same time, he is tortured by his uncontrollable passions, and by the military and religious forces—the enigmatic “Red” and “Black”—that dominate French society in the years following the Revolution.
Thoughts:
I didn’t pay much attention to classics. When I was in college, I hated literature class because the lecturer was obsessed with Shakespeare and I was tortured inside out. I was skeptical and in my mind, classics were boring and torturing, it’s a waste of time.
The Red and the Black proved me wrong. I was hooked. The story is gripping, the words were crafted beautifully, and the characters are memorable. It’s more tragic than the infamous Romeo and Juliet in some ways.
Julien was ambitious and willing to do anything to reach the top. He was enthralled by the bourgeois’ lifestyle and was obsessed to be part of them.
He started with teaching Madame de Rênal’s children and ended up hooking up with her. They broke up because some circumstances force them to.
Then Julien went back to school to study. Again, he was determined to be number one. Later, he found out about the dirty tricks inside the church.
He was offered to work for Monsieur de la Mole in Paris, and he fell in love with Mathilde, his daughter. Mathilde was one sick lady who was obsessed with the story of Margret. I don’t want to spill this part because this is the hint which leads to the tragic (or engrossing) ending.
The Red and the Black was set in France after the fall of Napoleon/post-revolutionary in France where noblemen reigned and church began to spread its power.
Julien is the perfect portrayal of a normal human being who has good and bad sides. It’s like you’re dealing with personal demons but deep inside you know what’s the right thing to do.
He might be complicated and dangerous, but in the end I have sympathy for him. (Now playing Sympathy for the Devil).
The Red and the Black is the best classics reading so far. Why is it underrated?
I’d like to see the movie. Hope Tubeplus has the English subtitle for this.
Fave quotes:
“A good book is an event in my life.”
“Our true passions are selfish.”
“Indeed, man has two different beings inside him. What devil thought of that malicious touch?”
If I were a director:
Ian Somerhalder would be perfect for Julien Sorel. He’s handsome, and just look at his smirk. He’s good at being bad.
I can’t think of anybody else to play Louise de Rênal. Marcia Cross is Louise.
Elisa is Louise’s maid who fell in love with Julien. She’s wicked, full of rage and definitely jealous that Julien loves Louise. Mila Kunis would be perfect.
Aimee Teegarden as Mathilde de la Mole. Snotty, spoiled, and obsessed with Margret’s story. It would be interesting to cast her as a troubled lady.
Monsieur de Rênal. Prototype of the provincial petty aristocracy, the wealthy mayor of Verrières.
Richard Gere as Abbé Chélan, Julien’s first mentor.
Donald Sutherland as Old Sorel, the greedy old scumbag who’s interested earning Julien’s inheritance.
[Book Review] Love Story by Erich Segal
Judul: Love Story
Penulis: Erich Segal
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Edisi: Terjemahan
Tanggal Terbit: 21 Juni 2012
Jumlah Halaman: 216
Kategori: Fiksi/Romance/Klasik
Book Blurb:
Apa yang dapat kita ceritakan mengenai gadis 25 tahun yang telah tiada? Bahwa ia cantik. Dan cemerlang. Bahwa ia mencintai Mozart dan Bach. Dan Beatles. Dan aku.
Oliver Barrett IV kuliah di Harvard dan Jenny Cavilleri di Radcliffe. Oliver kaya, Jenny miskin. Oliver atlet, Jenny bermain musik.
Tapi mereka jatuh cinta.
Ini kisah mereka.
Thoughts
Gue baru ngeh kalo lagu lawas super ngetop yang berjudul “Love Story” itu adalah sontrek dari film berjudul sama yang diangkat dari novel ini.
Honestly, gue lebih suka lagunya daripada bukunya.
Entah karena terjemahannya kurang bagus atau ceritanya yang terlalu biasa sehingga tidak membangkitkan emosi gue. Ada yang mereview buku ini di GR sampai nangis-nangis waktu baca. Gue lempeng-lempeng aja, padahal sebelumnya baca “Perahu Kertas” dan sempet termehek-mehek.
Pertama kali tertarik beli buku ini karena disebutkan Jenny suka the Beatles. Gue pikir bakal ada penjelasan lebih jauh tentang the Fab Four, ternyata tidak ada.
Lalu, gue nggak suka sama Oliver. He’s a whiny rich boy who thought he’s above everything else. Gue nggak melihat alasan yang jelas yang menyebabkan perang dinginnya dengan ayahnya. What’s the core problem?
Terus, Oliver juga menyembunyikan penyakit Jenny dari Jenny dan ayahnya. Dia pinjam uang tapi nggak jujur uangnya untuk apa. Ridiculous.
Gue nggak pernah mempermasalahkan ending. Happy or sad, doesn’t even matter. Tapi yang satu ini bener-bener flat.
This is a fast read. I finished it in two short sittings. Sepertinya ceritanya juga bakal numpang lewat begitu saja tanpa kesan.
[Book Review] Madame Wu by Pearl S. Buck
Judul: Pavillion of Women: Madame Wu
Penulis: Pearl S. Buck
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Juni 2007, Cetakan kelima
Jumlah halaman: 520
Kategori: Fiksi terjemahan/Klasik/Sastra Cina/Fiksi Sejarah
Book Blurb:
Betulkah perkawinan merupakan prestasi terbesar bagi wanita?
Sesuai adat Cina, Madame Wu menikah dengan laki-laki pilihan orangtuanya. Mereka dikaruniai empat putra. Di rumah suaminya yang kaya raya itu, Madame Wu menjalankan tugas-tugasnya sebagai istri dan ibu. Dia istri yang sempurna dalam segala hal.
Pada hari ulang tahunnya yang keempat puluh, Madame Wu memutuskan untuk melepaskan diri dari keeajiban melayani suaminya. Sekarang dia hanya akan mencari kepuasan jiwa. Dia akan membeli gundik untuk melayani kebutuhan suaminya…Inilah novel cemerlang yang mengungkapkan perasaan hati manusia. Kisah seorang wanita yang nasibnya diubah oleh cinta yang agung.
Pertama kali dengar nama Pearl S. Buck waktu duduk di bangku SMP. Waktu itu, guru Bahasa Indonesia pernah bertanya tentang penulis favorit anak-anak. Dengan mata berbinar, beliau bercerita tentang betapa indahnya buku-buku karya Pearl S. Buck. Baru sekarang gue ngerti perasaan guru Bahasa Indonesia gue itu. Memang sangat indah. I was blown away. Sayang, nyokap gue bukan penggemar Pearl S. Buck, jadi gue baru sekarang bisa mencicipi buku-bukunya. Waktu sekolah duluk biasanya gue melalap buku di rak nyokap.
Mengambil latar waktu sebelum perang dunia kedua di Cina, novel ini berkisah tentang pencarian cinta sejati dan makna hidup. Bahwa sesungguhnya banyak aturan atau adat yang mengkungkung kebebasan dan bertentangan dengan kata hati yang sesungguhnya.
Tokoh sentral dalam novel ini adalah Madame Wu (yang memiliki nama kecil Ailien). Ia adalah penghubung dari semua tokoh-tokoh yang ada di buku ini. Biasanya gue nggak terlalu suka dengan novel yang tokohnya agak banyak, tapi tidak dengan novel ini. Karena tiap tokoh punya peranan, bukan asal tempel saja.
Mr. Wu adalah suami Madame Wu. Lalu, ada keempat anak laki-laki beserta menantunya, ibu dan bapak mertuanya (kadang diceritakan secara flashback). Selain itu, ada asisten pribadi Madame Wu, Bruder Andre yang mengajarkan filosofi hidup, Madame Kang, Suster Hsia, dan dua gundik Mr. Wu.
Di halaman 340-an, mata gue basah. Udah lama nggak nangis waktu baca novel. Gue nggak mau cerita apa yang membuat mata gue basah, karena nanti jadi spoiler.
Gue suka sekali sama novel ini karena perubahan pada tokoh-tokohnya signifikan, endingnya juga memuaskan walau diselipi beberapa kematian tokoh-tokohnya. Banyak perenungan dan pembelajaran dari novel ini, juga quote-quote yang jleb.
Menilik kultur dan sejarah Cina, pada masa itu memang masih berlaku perjodohan. Biasanya, orangtua memilihkan calon pasangan untuk anak memakai jasa Mei Ren atau Mak Comblang. Bahkan, pengantin pria belum melihat wajah pasangannya sebelum malam pertama.
Begitu juga dengan Madame Wu yang menjodohkan anak-anaknya, kecuali Tsemo yang ngotot menikah dengan pilihannya sendiri. Madame Wu pada awalnya kurang suka sehingga pasangan itu agak terasing di rumah mereka. Menurut kepercayaan orang Cina, laki-laki harus mengambil istri yang umurnya lebih muda dan lebih baik kurang pendidikannya. Sedangkan istri Tsemo lebih tua satu tahun dan berpendidikan. Bahkan ia menjadi aktivis memprotes kebijakan pemerintah.
Yang mearik lagi adalah masalah poligami. Sekitar tahun 1930an, praktek poligami seharusnya sudah dilarang karena ada Undang Undang yang menyatakan demikian, tapi tidak dalam prakteknya.
Sewaktu Madame Wu memutuskan untuk mengambil gundik untuk Mr. Wu, Rulan (istri Tsemo) protes dan mengatakan bahwa ada larangan untuk itu, dan poligami itu sudah kolot. Tapi Madame Wu menjawab bahwa pelarangan itu hanya aturan yang tertulis saja. Pada prakteknya, memang masih banyak yang melakukan poligami. Madame Wu melakukan itu untuk mencegah suaminya pergi ke rumah pelacuran, walau ia juga kecolongan karena Mr. Wu pergi ke sana bersama besannya, Mr. Kang.
Hanya satu kelemahan novel ini, terlalu banyak memakai kata ‘insyaf’ yang bisa diganti dengan kata ‘sadar’.
It’s a perfect Chinese New Year reading.