Monthly Archives: May 2013
[Book Review] Petals From The Sky by Mingmei Yip
Di usia kedua puluh tahun, Meng Ning memutuskan untuk menjadi biksuni (pendeta wanita agama Buddha) dan langsung ditentang keras oleh ibunya. Di mata beliau, kehidupan membiara tak jauh-jauh dari penderitaan: tak ada kebebasan, hidup tanpa cinta dan daging. Tapi, dimata Meng Ning, menjadi biksuni adalah kesempatan berharga untuk memegang kendali penuh atas takdir hidupnya, dan menikmati sepuas-puasnya belajar musik, seni, puisi – sesuatu yang tidak ditawarkan oleh ikatan perkawinan.
Ditemani mentornya, Yi Kong, Meng Ning akan menghabiskan sepuluh tahun belajar di luar negeri, membiasakan diri hidup selibat, dan mempersiapkan diri untuk hidup membiara. Namun, sebuah insiden kebakaran membelokkan takdirnya ke situasi yang benar-benar berbeda.
Meng Ning jatuh cinta…
Terinspirasi oleh temannya, Yi Kong, Meng Ning memutuskan untuk menjadi biksuni di usia yang masih muda. Ibunya melarangnya. Ia yang menganggap putrinya berparas cantik, mengharapkannya untuk hidup layak dan menikmati kemewahan yang seharusnya ia dapatkan, selain menikahi pria tampan yang mapan.
Namun keputusan Meng Ning sudah bulat. Ia memutuskan untuk menjadi seorang biksuni. Alasannya, ia ingin terbebas dari kekuasaan pria yang menghancurkan, mendapat spiritualitas, mengendalikan kehidupan dan nasibnya sendiri, juga dapat menjalani kehidupan dalam puisi, kehidupan mistis, dan kedewian.
Musim panas 1987, sebelum terjadi Black Monday, yaitu ketika pasar saham dunia hancur lebur, Meng Ning yang sudah berusia tiga puluh tahun dan calon penerima gelar Ph.D dalam bidang sejarah seni Oriental dari salah satu universitas di Sorbonne, Prancis, mengunjungi Kuil Fragrant Spirit untuk melakukan ibadah menyepi selama tujuh hari dan merasakan pengalaman sebagai biksuni sementara. Sebuah insiden memalukan membuatnya berkenalan dengan seorang pria asing bernama Michael Fuller, dan mereka curi pandang saat makan siang dalam kebisuan.
Teman lama Meng Ning, Yi Kong, menjadi pembicara tamu di kuil tersebut. Setelah sekian lama berpisah, mereka bertemu kembali lewat tatapan mata.
Terjadi kebakaran yang disebabkan oleh seorang anak yatim secara tak sengaja. Michael menyelamatkan Meng Ning dan yang lainnya. Timbul perasaan di hati Meng Ning.
Setelah kejadian itu, Michael mengajak Meng Ning berkencan, namun Meng Ning masih menutupi kedekatannya dengan Michael dari ibunya.
Menggunakan alur maju-mundur, Meng Ning menceritakan tentang orangtuanya yang kerap bertengkar karena ayahnya suka berjudi, lalu Meng Ning yang terjatuh ke dalam sumur. Di situlah ia bertemu dengan Yi Kong, seorang biksuni yang dipercaya oleh penduduk desa sebagai titisan dari dewi Kwan Im. Lalu diceritakan juga bagaimana ayah dan ibu Meng Ning bertemu (yang sesungguhnya menarik jika dibuat novel spin-off-nya).
Sebelum Michael kembali ke New York, ia meminta Meng Ning untuk menemaninya menonton opera Cina. Ditengah-tengah pertunjukan, Michael menyodorkan secarik kertas berisi haiku dan ajakan untuk menikah. Meng Ning yang masih bimbang langsu mengatakan tidak. Michael mendapat kabar bahwa profesor Fulton masuk rumah sakit di Lhasa. Dan ia segera berangkat ke sana.
Untuk beberapa saatm Michael menghilang dari peredaran. Meng Ning diminta Michael untuk menemuinya di New York. Di sana, Meng Ning bertemu dengan Lisa, mantan tunangan Michael, yang juga putri dari profesor Fulton. Dan Philip, mantan kekasih Lisa yang juga teman dekat Michael, memikat Meng Ning dengan pesonanya. Bersama Lisa dan Philip, Meng Ning dibawa untuk berpetualang menjelajahi area tabu yang selama ini tidak pernah dibayangkannya.
Banyak ajaran Buddha yang membuat gue mengerti kenapa seorang penganut agama Buddha tidak mengkonsumsi hewan. Alasannya karena pembunuhan makhluk hidup apa pun akan menghadilkan karma yang buruk. Karena umat Buddha percaya reinkarnasi, dan manusia bisa bereinkarnasi menjadi hewan, bisa saja ayam, sapi, ikan yang kita makan adalah keluarga atau kerabat kita. (Asli jijay banget pas baca bagian ini).
Lalu, ada adegan Michael dan Meng Ning menonton opera Cina. Tahun lalu gue baca novel Farewell My Concubine-nya Lillian Lee yang kental dengan opera Cina. Satu keinginan gue belum tercapai: nonton opera Cina. Harus kesampean. Selain itu, gue juga pengin nyobain nginep di biara, pengin ngerasain hidup zen.
Petals from the Sky bercerita tentang cinta dari berbagai sudut pandang. Setiap tokoh, baik tokoh utama maupun tokoh minor memiliki jalur cinta yang manis, mengesankan, juga scandalous. Setiap tokohnya juga memiliki rahasia yang bikin shocked. Novel ini untuk konsumsi dewasa, kenapa nggak ada labelnya?
Kesimpulan, Petals from the Sky adalah roman yang manis dan gue suka banget. Alurnya yang maju mundur ditulis dengan apik, tidak ada plot yang bolong. Bukan hanya menyajikan cinta, namun filosofi ajaran Buddha dengan segala kesederhanaannya membuat Petals from the Sky begitu sarat dengan perenungan. Lalu, budaya Cina seperti penghitungan tanggal baik untuk menikah, seserahan dalam pernikahan, juga tata cara pemberian warisan membuat novel ini semakin kaya. Walau masih ada sedikit typo, namun tidak mengurangi keindahan alur kata yang ada di dalamnya.
Gue agak heran kenapa novel ini underrated.
Untuk penggemar Asian Lit, baca deh.
Sebenarnya banyak banget kutipan indah dari buku ini, tapi gue share sebagian aja ya.
Apakah kau ingat pada putri kakek buyutmu, yang masuk biara karena dicampakkan oleh tunangannya? Ia tak lagi memiliki harga diri; tak punya nama, tak punya teman, tak punya rambut. (hal. 3)
Secara logika, apalah bedanya antara kepala yang botak dan kepala yang memiliki tiga-ribu-helai-masalah? (hal. 5)
Sesuai dengan kepercayaan kuno Cina yang menyatakan bahwa jika seseorang mewariskan uang kepada putrinya, maka uang itu pada akhirnya akan hilang di tangan keluarga lain. (hal. 8)
Terkadang melihat dan memercayai sekali pun tak membuatku berhasil menemukan kebenaran. (hal. 37)
Orang Cina menyebut rasa makanan vegetarian sebagai “rasa janda” – seperti mati rasa karena telah kehilangan orang yang disayangi. (hal. 43)
Lepaslah dari cinta manusia. Itu ilusi. (hal. 96)
Masakan Zen memberikan tiga kebaikan: kemurnian, kesegaran, harmoni. Itulah sebabnya kita vegetarian. Karena makanan yang mengandung daging akan mengacaukan hati dan pikiran kita, tidak menyisakan tempat untuk disiplin dan refleksi diri. (hal. 405)
Tomorrow Will Be Better by Various Artist
Don’t Say Goodbye by Alan Tam
Don’t Dream It’s Over by Crowded House
I Knew You Were Waiting (For Me) by Aretha Franklin & George Michael
Wishful Wedneday 15: Four Wishes
Hari Rabu adalah hari paling seru untuk posting buku impian. Kali ini gue mau agak sedikit maruk. Ada 4 buku yang gue idam-idamkan, yaitu:
Moga-moga terkabul punya semua buku diatas.
Yang mau ikutan Wishful Wednesday, langsung meluncur ke blog-nya Astrid di sini.
Happy Wednesday!
[Book Review] Girl with a Pearl Earring by Tracy Chevalier + Movie Review
Winner of the 2000 Barnes & Noble Discover Great New Writers Award Alex Award winner Tracy Chevalier transports readers to a bygone time and place in this richly imagined portrait of the young woman who inspired one of Vermeer’s most celebrated paintings. History and fiction merge seamlessly in this luminous novel about artistic vision and sensual awakening. Girl with a Pearl Earring tells the story of sixteen-year-old Griet, whose life is transformed by her brief encounter with genius…even as she herself is immortalized in canvas and oil.
Girl with a Pearl Earring adalah buku kedua karya Tracy Chevalier yang sudah gue baca. Novel karya Chevalier yang pertama kali gue baca adalah The Lady and the Unicorn. Reviewnya ada di sini.
Dibandingkan The Lady and the Unicorn, Girl with a Pearl Earring lebih fokus pada Griet dan Vermeer, walau banyak tokoh yang terlibat. Pendalaman karakter lebih terasa dibanding dengan The Lady and the Unicorn.
Kejadiannya pada abad 17 di Delft, Holland. Masa itu juga disebut Dutch Golden Age, dimana seni lukis (baroque), arsitektur, dan literatur Belanda mengalami masa kejayaan. Adalah Griet, seorang gadis miskin yang harus menjadi tulang punggung keluarga setelah kecelakaan menyebabkan mata ayahnya menjadi buta. Griet akhirnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah keluarga Jan Vermeer, seorang pelukis baroque. Selain Griet, ada seorang pembantu lagi yang bekerja di rumah tersebut, Tanneke, yang mood-nya sering berubah. Catharina, istri Vermeer, sangat cemburu kepada Griet karena suaminya menjadikannya sebagai asisten di studio melukisnya. Catharina sudah lama tidak diijinkan memasuki studio Vermeer karena ia clumsy dan tidak menunjukkan ketertarikan pada profesi suaminya. Selain itu, Catharina lebih fokus memproduksi anak, walau ia juga tidak mengurus anak-anaknya secara full time.
Vermeer melihat talenta pada Griet, bahwa ia mengerti seni dan bisa dijadikan asisten. Ayah Griet dan kakaknya, Frans, bekerja sebagai tile painter. Bahkan Griet memberi saran pada Vermeer untuk komposisi pada lukisannya agar lebih sedap dipandang.
Lalu, ada juga Maria Thins, ibu mertua Vermeer, yang bersikap baik pada Griet. Dan anak Vermeer, Cornelia, salah satu dari 5 anak Vermeer, yang tidak suka pada Griet. Cornelia suka mengintip Griet saat bekerja. Mungkin ia memiliki feeling bahwa Griet bisa membahayakan hubungan orangtuanya. Cornelia digambarkan berambut ikal dan merah, tipikal anak badung dalam cerita bule.
Berdasarkan imajinasi Chevalier, Griet adalah inspirasi Vermeer dalam lukisan masterpiece-nya, Girl with a Pearl Earring (Het Meisje met de Parel), bahkan dijuluki Mona Lisa of the North.
Vermeer sendiri digambarkan misterius, sesuai dengan fakta yang ada. Vermeer dan Griet memiliki chemistry namun tidak dideskripsikan secara vulgar, bikin gue geregetan dalam arti positif. Bagaimana hubungan emosional terjalin dengan skinship yang minim, that’s very sensual. Vermeer hanya pernah menyentuh wajah dan telinga Griet ketika proses pembuatan lukisan legendaris tersebut. Griet menyimpan perasaan pada majikannya tersebut, walau akhirnya Griet sadar the feeling wasn’t mutual. Vermeer cared more about his paintings. Griet juga membuat keputusan yang tepat di akhir cerita.
Griet sendiri memiliki pacar bernama Pieter, anak tukang daging langganan Tanneke.
Gue sangat suka dengan novel ini, selain karena genrenya historical fiction. Chevalier suka mengambil tema lukisan dalam tulisannya. Lalu, deskripsi mengenai cara mengolah cat digambarkan secara detil. Juga keadaan sosial politik pada saat itu di Delft, di mana kaum Protestan mendominasi, serta the rise of the bourgeoisie yang menguasai gereja, membuat novel ini terasa hidup.
Ada scene menarik dimana ibu Griet berpendapat bahwa lukisan Vermeer tidak baik bagi jiwa. Griet yang belum pernah memasuki gereja Katolik mengutarakan pendapat ibunya tentang lukisan Katolik. (Keluarga Griet beragama Protestan). Menarik karena dialog-dialog dalam scene ini menyentil. Do not judge something that you don’t know. Ini sering banget terjadi di sekitar kita.
“It’s not the painting that is Catholic or Protestant,” he said, “but the people who look at it, and what theyexpect to see. A painting in a church is like a candle in a dark room – we use it to see better. It is the bridge between ourselves and God. But it is not a Protestant candle or a Catholic candle. It is simply a candle.”
Now, let’s talk about the film.
Film ini merupakan karya pertama sutradara Peter Webber. Film ini juga merupakan salah satu film transisi Scarlet Johanson dari artis remaja menjadi aktris dewasa. Gue nggak keberatan dengan ScarJo sebagai Griet, cuma di film ini ScarJo sering ‘mangap’.
Colin Firth bermain apik sebagai si misterius Vermeer. Yang keren adalah Cillian Murphy sebagai Pieter. Kualitas aktingnya pantas diberi dua jempol, walau dia nggak sering nongol.
Girl with a Pearl Earring versi film agak berbeda dengan novelnya. Beberapa adegan diganti untuk mempersingkat cerita. Di film ini nggak banyak dibahas tentang keluarga Griet, kematian Agnes, juga ‘ending’nya yang berbeda.
Lalu Frans, kakak Griet, yang punya drama sendiri juga nggak dibahas di film. Mungkin untuk mempersingkat cerita atau lebih fokus pada Griet dan Vermeer.
Sinematograginya cantik, walau pace-nya agak lamban. Chemistry antara Colin dengan ScarJo juga cukup kuat. Penggambaran suasana Belanda abad ke-17 juga disajikan apik, lumayan memanjakan mata.
Tapi kalau boleh membandingkan, gue lebih suka bukunya daripada filmnya, karena beberspa detil yang dihilangkan, membuat gue harus 2 kali menonton supaya mudeng.
Overall,, baik buku maupun filmnya berkesan. Recommended untuk penyuka hisfic atau yang baru coba-coba baca/nonton film tema sejarah dan seni lukis.
*3 bintang untuk filmnya*
[Book Review] Lelaki Terindah by Andrei Aksana
Gebrakan baru Andrei Aksana!
Setelah menerbitkan tiga novel yang menjadi bestseller, Andrei Aksana kembali dengan karya masterpiece-nya, Lelaki Terindah. Bukan sekadar novel biasa, karena Andrei Aksana juga memasukkan sejumlah puisi sebagai bagian cerita.Kisah tentang cinta antara dua lelaki, Valent dan Rafky. Cinta yang menghadapi berbagai rintangan dan halangan dari keluarga dan masyarakat, dan terutama dari diri mereka sendiri. Apakah salah bila cinta tumbuh di hati dua lelaki?
Apa yg harus dilakukan saat cinta telanjur mekar dan bersemi? Sanggupkah mereka menghadapinya?
Nama Andrei Aksana sudah sangat terkenal sebagai salah satu penulis sastra pop Indonesia. Gue sudah membaca dua atau tiga bukunya sebelum membaca novel ini. Gue belum pernah membaca novel dengan tema pure LGBT seperti Lelaki Terindah.
Ciri khas Andrei adalah menyelipkan puisi dalam karyanya. Kadang gue membaca dengan seksama, kadang gue skipped karena nggak mood baca puisi.
Rafky, seorang lelaki straight, bertemu dengan Valent di pesawat menuju Bangkok. Terjadi chemistry diantara mereka yang berlanjut hingga ke hubungan asmara. Rafky marah pada Valent (dan dirinya sendiri) karena ia yang ‘normal’ bisa menyukai sesama jenis. Hingga ia pergi ke sebuah bar di Patpong dan menyewa seorang penari tercantik. Tetapi, Rafky tidak mampu mengusir bayangan Valent.
Pulang ke Jakarta, hubungan mereka terus berlanjut. Karena merasa tersiksa dengan pacar masing-masing, akhirnya Rafky dan Valent mengakui sexual preference mereka pada kekasih dan ortu masing-masing. Bisa ditebak lah seperti apa akhirnya.
Andrei piawai dalam menuliskan kalimat puitis dan diksi yang cantik. Tapi, seringkali beberapa scene-nya sinetron banget. Seperti saat Valent dikurung ibunya. Jari Rafky dan Valent saling bertautan di balik jeruji pagar. Seandainya adegan ini terjadi antara cowok dan cewek pun masih sinetron banget.
Ada satu lagi yang mengganggu. Beberapa ungkapan dalam bahasa Thai tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Gue males kalau harus googling lagi artinya. Sampai sekarang gue nggak tahu arti sa bai dee mai dan khun cher arai.
Novel ini berakhir tragis, cukup memorable. Gue selalu terharu tiap membaca novel Andrei *thumbs up*. Ditambah dengan penggambaran hingar bingar dunia malam Bangkok, bikin gue kangen ke Patpong.
Book Haul 25/5/2013
Oops, I did it again! Hari ini memang niat ke acara Ennichisai di kawasan Blok M Square. Seru banget banyak jajanan khas Jepang. Pas hari mulai panas dan kepala mulai puyeng, gue melipir ke Blok M Square yang ada bursa buku murahnya. Pertama kali sih ke sana. Pas liat deretan kios buku, pusing juga mau berlabuh di mana.
Iseng-iseng menelusuri bagian pojok, dan gue berhasil menemukan novel-novel berikut:
1. Socrates Cafe by Christopher Phillips
2. Greyfriars Bobby by Eleanor Atkinson
3. The Space Between Us by Thrity Umrigar
4. The Joy Luck Club by Amy Tan
5. The Boy in the Striped Pyjamas by John Boyne (beli dari Deedee OL Shop)
Jadi gue udah minus berapa lagi ya?
Pic credit: here
[Book Review] Cintapuccino by Icha Rahmanti
Novel ini tidak memuat sinopsis di cover belakangnya, jadi gue nggak bisa posting Book Blurb-nya. Jujur, gue kurang suka dengan buku yang nggak ada sinopsisnya, kayak beli kucing dalam karung. Tapi, berhubung Cintapuccino ini pernah booming, gue akhirnya beli dan mau baca.
Iya, gue akui gue memang telat membaca buku ini. Sangat telat malah. Karena, pada saat buku ini lagi ngehits, gue lagi vakum membaca. Jangan tanya kenapa.
Adalah Ami yang terobsesi pada Nimo sejak di bangku SMA. Demi dekat dengan cowok idamannya, Ami sampai rela masuk tim keamanan sekolah, ikut tes ke universitas yang sama, bahkan pernah melamar ke perusahaan tempat Nimo bernaung. Rada-rada memang cewek bernama Ami ini.
Karena merasa hanya dianggap sebutir debu oleh Nimo, Ami sudah bisa move on dan akhirnya bertemu dengan Raka, yang serius ingin melamarnya. Ami mengalami dilema karena dia kembali bertemu dengan Nimo tanpa sengaja di Mie Lela, tempat nongkrong idola remaja awal tahun 2000-an.
Cintapuccino berhasil membuat gue bernostalgia dengan Bandung, kota yang gue anggap rumah kedua. Lalu, julukan-julukan untuk mantan Ami, seperti Mr. Sub Zero dan Mr. DW, menurut gue juga kreatif.
Yang agak mengganggu adalah dialog repetan Ami yang panjang. Kebayang kalo gue ketemu orang kaya gini, gue bakal sakit kuping.
Kedua, tiga tokoh utamanya sangat tidak likeable. Saat Nimo tiba-tiba minta Ami untuk jadi istrinya, gue cuma bisa bilang WTH dalam hati. Lalu, sikap Raka yang nggak defensif juga bikin gue bengong. Lalu, Ami yang dulu getol stalking Nimo, saat Raka membatalkan tunangan, ngejar-ngejar Raka. Seriously, gue gagal paham dengan sikap Ami. Sakit hati sih pasti la yah, diputus tunangan. Tapi sampe ngejar-ngejar, gue sih ogah.
Ketiga, tiga tokoh utama flawlessly grandeur. Nimo ganteng, pinter, karir sukses, kerja di Okie. Ami yang masuk perusahaan asing yang sama dengan Nimo, memilih keluar, lalu membuka usaha sendiri. Raka dapat kesempatan magang di London News Hilite.
Novel Cintapuccino ini cukup menghibur, bisa dibaca cepat dan selesai dalam satu-dua kali duduk. Banyak informasi mengenai kerjaan engineer, lalu Murphy’s Law, juga tidbits bisnis distro.
Gue masih punya utang baca Beauty Case, dan gue juga masih menanti karya Icha yang lain.