Blog Archives
[Book Review] Tuesdays with Morrie by Mitch Albom @Gramedia
Judul: Tuesdays with Morrie (Selasa Bersama Morrie)
Penulis: Mitch Albom
Edisi: Terjemahan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Juli 2011, cetakan kedelapan
Tebal: 209 halaman
ISBN: 978-979-22-5021-3
Kategori: Non Fiksi
Genre: Spiritual, Biografi
Dapat dari: Astrid
Bisa dibeli di: Bukabuku Harga: IDR 34,000
Kalimat pembuka:
Kuliah terakhir dalam hidup sang profesor yang sudah berusia lanjut itu berlangsung sepekan sekali di rumahnya di dekat jendela ruang kerja tempatnya dapat menikmati keindahan kembang sepatu yang bunganya merah jambu.
Bagi kita mungkin ia sosok orangtua, guru, atau teman sejawat. Seseorang yang lebih berumur, sabar, dan arif, yang memahami kita sebagai orang muda penuh gelora, yang membantu kita memandang dunia sebagai tempat yang lebih indah, dan memberitahu kita cara terbaik untuk mengarunginya. Bagi Mitch Albom, orang itu adalah Morrie Schwartz, seorang mahaguru yang pernah menjadi dosennya hampir dua puluh tahun yang lampau.
Barangkali, seperti Mitch, kita kehilangan kontak dengan sang guru sejalan dengan berlalunya waktu, banyaknya kesibukan, dan semakin dinginnya hubungan sesama manusia. Tidakkah kita ingin bertemu dengannya lagi untuk mencari jawab atas pertanyaan-pertanyaan besar yang masih menghantui kita, dan menimba kearifan guna menghadapi hari-hari sibuk kita dengan cara seperti ketika kita masih muda?
Bagi Mitch Albom, kesempatan kedua itu ada karena suatu keajaiban telah mempertemukannya kembali dengan Morrie pada bulan-bulan terakhir hidupnya. Keakraban yang segera hidup kembali di antara guru dan murid itu sekaligus menjadi sebuah “kuliah” akhir: kuliah tentang cara menjalani hidup. Selasa Bersama Morrie menghadirkan sebuah laporan rinci luar biasa seputar kebersamaan mereka.
Surprised banget ternyata saya salah satu pemenang 2nd prize di blognya Astrid dalam rangka November Bloghop kemarin. Langsung aja saya nodong Astrid untuk menghadiahkan saya dua buku Mitch Albom: Tuesdays with Morrie dan Five People You Meet in Heaven. Terima kasih banyak ya, Astrid, untuk hadiah Natalnya :’)
Sebenarnya saya punya buku Tuesdays with Morrie yang saya beli dari OL Shop buku bekas. Namun, setelah diperiksa, bukunya ternyata buku jabakan. Saya paling nista membaca buku jabakan, nggak napsu. Setelah mendapat buku cetakan barunya, saya semangat banget membacanya.
Tuesdays with Morrie adalah buku kedua karya Mitch Albom yang saya baca tahun ini. Sebelumnya, saya membaca Have a Little Faith (review di sini).
Mirip dengan buku Have a Little Faith, buku ini membahas tentang makna hidup dari kacamata orang yang akan meninggal. Buku ini nggak terlalu tebal, namun membuat saya merenung panjang tentang hal sia-sia yang sudah saya lakukan selama ini.
Morrie Schwartz adalah seorang dosen senior yang disukai oleh para mahasiswanya di Brandeis University. Kelas sosiologinya kerap penuh oleh mahasiswa yang ingin mendengarkan kuliahnya. Tidak seperti dosen ilmu eksakta yang setelah selesai kuliah, tidak ada perpanjangan kontak, tidak demikian dengan Morrie. Seperti malaikat, ia bertindak sebagai perantara kasih orang-orang yang datang kepadanya untuk meminta bantuan.
Mitch Albom merupakan salah satu mahasiswa Morrie yang sudah lama hilang kontak dengannya. Mitch tidak sengaja menonton acara TV yang menyiarkan wawancara Morrie, dan segera ia mengontak sang guru tersebut.
Setiap hari Selasa, Mitch kembali belajar, dibimbing oleh Morrie yang kondisi fisiknya sudah sangat lemah.
Pic from here
Morrie mengajarkan tentang berbagi dengan sesama, meluangkan waktu dengan orang-orang yang kita kasihi, pasrah dan menerima keadaan dan diri kita yang sekarang, bukan diri kita di masa lampau, juga belajar untuk membentuk budaya kita sendiri.
Budaya konsumerisme dan sosial media yang semakin mempersempit ruang interaksi dengan sesama manusia di dunia nyata adalah budaya yang salah, dan saya setuju. Saya semakin merenungkan tentang segala kesia-siaan yang saya lakukan.
Morrie juga mengajarkan tentang pentingnya memaafkan diri sendiri sebelum memaafkan orang lain. Saya kembali merenungkan tentang hubungan saya dengan beberapa orang yang dulu pernah dekat namun sekarang jadi jauh. I really want to reach to them and make things better. Semoga saja bisa.
Buku-buku Mitch Albom seperti antidote dari novel-novel fiksi yang saya baca, baik genre thriller mau pun romance. Rasanya seperti diguyur air dingin setelah membaca buku ini.
Satu hal lagi yang saya anggap penting yang saya petik dari buku ini adalah sehebat apapun seseorang, ia pasti memerlukan seorang guru. Seorang guru adalah orang yang bisa melihat kekurangan kita tanpa menghakimi, dan membimbing agar kita bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Yang paling penting dalam hidup adalah belajar cara memberikan cinta kita, dan membiarkan cinta itu datang. (hal. 55)
Sesungguhnya, begitu kita ingin tahu bagaimana kita akan mati, itu sama dengan belajar tentang bagaimana kita harus hidup. (hal. 87)
Ketika orang memanipulasi kita, membujuk kita membeli parfum tertentu supaya kita tampil menawan, atau membeli celana jeans yang akan membuat kiya tampak seksi—kemudian kita mempercayai orang-orang ini! Padahal semua omong kosong. (hal. 125)
Until next time ^^
[Book Review] The Christmas Wedding by James Patterson
Title: The Christmas Wedding
Author: James Patterson, Richard DiLallo
Publisher: Grand Central Publishing
Published: 2011
Format: Paperback
ISBN: 978-0-446-58543-9
No. of Pages: 266
Category: Fiction
Genre: Romance, Contemporary
Bought at: Periplus.com Price: IDR 49,000
Opening Sentence:
ONLY TWENTY-FOUR DAYS until Christmas, and this Christmas is going to be one you won’t forget.
The tree is decorated, the cookies are baked, and the packages are wrapped, but the biggest celebration this Christmas is Gaby Summerhill’s wedding. Since her husband died three years ago, Gaby’s four children have drifted apart, each consumed by the turbulence of their own lives. They haven’t celebrated Christmas together since their father’s death, but when Gaby announces that she’s getting married–and that the groom will remain a secret until the wedding day–she may finally be able to bring them home for the holidays.
But the wedding isn’t Gaby’s only surprise–she has one more gift for her children, and it could change all their lives forever. With deeply affecting characters and the emotional twists of a James Patterson thriller, The Christmas Wedding is a fresh look at family and the magic of the season.
I saw this book in Periplus, but somehow I didn’t pick it up. Then I remember that I wanted to read Christmas themed novels this month and, luckily, onread.com provides free copy to be read online. But, onread.com pissed me off. Every 3 pages there’s a sign “too many people are reading right now” and I had to go back to the beginning.
I decided to purchase this book online. Luckily, Periplus still had the copy. I’m so lucky that the cheap copies are sold out. I bought this book for IDR 49,000, so it’s like a small victory for me.
It’s a short, heartwarming novel about family reunion on Christmas eve.
Gaby, Summerhill, 44, a teacher, a mother of four, a widow for three years, sent a video message to all her children, announcing that she’d get married on Christmas. She didn’t reveal the groom, just expected her family to gather together on christmas. It’s been three years since their last reunion. Gaby wanted to do it again.
Claire, Gaby’s eldest daughter, had issues in her family. Hank was a pothead, and her son, Gus, was found drunk outside a mall. Hank slapped her face once when she said he’s an asshole. He was irresponsible and short-tempered, blaming it on the weed.
Gus did not do well at school. His grades are sliding down to the very bottom of the pit. He was getting friendly with the bad crowds. Claire taught remedial class. Sadly, Hank didn’t do anything to help.
Lizzie had to take care of Mike, her husband, due to serious illness. Emily’s a busy woman, and Seth was upset because his recent work was refused by his publisher, Knopf.
This book is sad and funny at the same time. I like Marty, Gaby’s brother in law. They had a thing. And there’s Jacob, a Jewish rabbi, who asked Gaby to marry him. Tom, who grew up with Gaby, was also interested to be Gaby’s second husband.
My favorite part is when Marty helped Gaby to teach remedial class. He taught the kids to love reading. I agree with Marty that we don’t have to like anything. Even the books that we hate can give something.
I love reading Christmas-themed books because they always give me a good feeling. I like this book, but I like Swimsuit better. I have tried reading other romance books by James Patterson. Not a huge fan though.
The Christmas Wedding is about one divorce and two weddings. The ending is sweet and touching.
If you don’t change, you’re stuck in a rut. (p. 8)
You can be the strongest person in the world and still make some bad decisions and have a pretty miserable life. (p. 27)
Be a giver, not a taker. (p. 34)
I read somewhere that cancer often disappears if you just sit very still. (p. 92)
Life is a temporary situation. (p. 116)
How can you read To Kill a Mockingbird or The Things They Carried and completely understand the book but not in any way feel the book? (p. 118)
If you’re not reading – with your heart as well as your brain – you will be one stupid grown-up. (p. 120)
Need a second opinion?
Annette’s Book Spot here
Kuroneko Book Club here
Until next time
[Book Review] Lampau by Sandi Firly @Gagasmedia
Judul: Lampau
Penulis: Sandi Firly
Penerbit: Gagasmedia
Terbit: April 2013
Tebal: 346 halaman
ISBN: 978-979-780-620-0
Kategori: Novel Fiksi
Genre: Sastra Indonesia
Dapat dari: penerbit dalam event #GagasDebut
Kalimat pertama:
Aku terlahir dari seorang Uli Idang, Balian Tuha, dukun yang namanya membuat gentar segenap hantu di hutan larangan Meratus – semua ilmu kesaktian merapat ke dirinya meminta untuk dipinang.
Aku mengingatmu, gadis berkepang dua. Di jalan menyusuri masa kecil. Senyum manis, cinta pertamaku. Mengingatmu adalah perjalanan panjang kembali ke buku-buku bergaris masa sekolah dasar, pensil warna, dan mimpi-mimpi beralur manis.
Gadis berkepang dua dengan senyum semenarik krayon warna, kau juga mengingatkanku pada takdir. Takdir yang lekat akan gemerincing denting gelang hiyang perunggu dalam iringan tetabuhan gendang, dan senandung mantra-mantra yang dengan sendirinya dapat kubaca.
Hingga bayangmu kutinggalkan dalam frame tua. Aku menemui gadis lain berwajah teduh. Gadis yang tak mengingatkanku pada takdir yang menunggu. Gadis yang membuatku tahu bahwa hidup bukan sekadar menjalani takdir yang kita tahu.
Namun, gadis berkepang dua, jalanku memutar, entah mengapa seolah ujungnya ingin menemukanmu. Senandung mantra siapa yang akan aku jelmakan, kali ini?
Ayuh adalah anak Uli Idang, dukun Dayak Meratus. Menjadi anak Balian memiliki banyak keistimewaan. Juga, Ayuh diharapkan bisa mewarisi ilmu ibunya, menjadi Balian di kemudian hari.
Suatu hari, sepucuk surat dengan cap darah mendarat di tangan Ayuh yang berada di Jakarta. Surat itu dari ibunya yang sakit keras dan meminta Ayuh untuk pulang. Ayuh dipercaya sebagai satu-satunya penyembuh, sesuatu yang diragukannya sendiri.
Ayuh kembali ke kampung halamannya, Desa Malaris. Dan Ayuh berflashback ke masa kecilnya. Ia kerap diolok-olok teman sekelasnya karena lemah dalam pelajaran eksakta. Ia lebih pandai bercerita. Sebelum ayahnya pergi meninggalkan keluarganya, ia suka membawa banyak buku cerita. Selain diwariskan oleh ayahnya, kesukaan Ayuh membaca juga karena pamannya, Amang Dulalin, yang suka bermalas-malasan di kamarnya sambil membaca.
Suatu hari, seorang bulr Amerika bernama Anna dan kawannya mengadakan penelitiN tentang kehidupan suku Dayak. Ia tinggal di rumah ibu Ayuh. Warga desa gempar dengan kedatangan Anna yang berkulit putih dan berambut jagung. Ayuh teringat dengan poster perempuan bule seksi yang dipajang Amang di kamarnya. Ia langsung mengajak Amang untuk datang ke rumahnya, karena idolanya datang.
Ada pertemuan, ada juga perpisahan. Tiba saatnya Anna harus kembali ke negaranya. Bersama Abdi, temannya, ia pamit pada warga Desa Malaris. Amang sibuk menulis surat cinta untuk Anna. Tak disangka, Ayuh mendapat kecupan di pipi sebagai tanda perpisahan dari Anna, diiringi sorak sorai warga desa. Amang tidak mencuci mukanya selama seminggu.
Ayuh risau karena ia ingin melanjutkan sekolah. Ia ingat, di sekolah, guru agama Islam berkata, pondok pesantren tidak memungut biaya untuk murid yang kurang mampu. Ibu Ayuh tak sanggup menyekolahkan Ayuh ke SMP karena masalah biaya. Ayuh mengajukan ide tersebut. Ibu Ayuh kaget, karena mereka menganut agama Kaharingan, agama adat. Dengan berat hati, Uli Idang melepas kepergian Ayuh untuk menuntut ilmu di pesantren yang berlokasi di Banjarbaru. Ayuh juga harus berpisah dengan teman-temannya: Septa, Tuma, Evi, Warna, dan Ranti. Ayuh menyukai Ranti yang cantik. Ia murid pindahan dari Jakarta.
Dan Ayuh berangkat ke ibukota, mengadu nasib. Namun masa lalu membawanya kembali ke kampung.
Ceritanya menarik dan banyak penjelasan tentang adat Dayak Malaris, namun di beberapa bagian terasa membosankan.
Secara keseluruhan, novel ini cukup asyik untuk disimak.
Setiap anak harus mengetahui nama yang disandangnya, apakah itu pemberian orangtuanya atau siapa pun. (hal. 7)
Until next time