Monthly Archives: July 2013

Wishful Wednesday 24: Unfulfilled Wishes

20130403-124544

Nggak kerasa sudah memasuki wish ke-24 yang berarti daftar buku impian gue semakin menumpuk yah.

Gue sering belanja secara impulsif ketika ada bazaar atau diskonan buku. Setelah belanja, kadang mikir, kok nggak bisa menahan diri sih, padahal timbunan masih banyak banget yang belum sempat dibaca.

So, WW minggu ini adalah: memiliki buku-buku yang udah pernah diWW-in sebelumnya.

1. WW4: Postcards from Penguin link

2. WW5: Our Happy Time link

3. WW6: Matched Boxset link

4. WW7: Love You to Death link

5. WW8: The Vampire Diaries link

6. WW9: Alex Flinn link

7. WW10: The Gormenghast Trilogy link

8. WW11: A Reading Diary link

9. WW12: Curse Workers series link

10. WW13: The World’s Strongest Librarian link

11. WW14: The Mango Season link

12. WW15: Four Wishes link

13. WW16: Haruki Murakami link

14. WW17: Jane Austen link

15. WW18: Paulo Coelho link

16. WW19: Interview with the Vampire link

17. WW20: Holocaust link

18. WW21: Jodi Picoult link

19. WW22: Foot-Binding link

20. WW23: Helga’s Diary link

Yang sudah terpenuhi:

WW8: The Vampire Diaries <– dapat buku kedua dan keempat. Buku pertama dan ketiga sedang otw dari BWB.

WW9: Alex Flinn <– dapat novel Beastly di Periplus

WW15: Four Wishes <– dapat The Alchemist dan Portrait of Sepia

WW16: Haruki Murakami <– baru dapat Dengarlah Nyanyian Angin dan Norwegian Wood

WW18: Paulo Coelho <– hanya dapat The Witch of Portobello

WW20: Holocaust <– baru dapat The Schindler's List. Sarah's Key sedang otw dari bukabuku.com

WW21: Jodi Picoult <– baru dapat The Vanishing Acts

WW23: Helga's Diary <– PO di bookdepo

Jadi, minggu ini wish gue adalah mendapatkan buku-buku yang belum kesampaian.

Yang mau ikutan Wishful Wednesday:

  1. Silakan follow blog Books To Share – atau tambahkan di blogroll/link blogmu =)
  2. Buat posting mengenai buku-buku (boleh lebih dari 1) atau segala hal yang berhubungan dengan kebutuhan bookish kalian, yang jadi inceran kalian minggu ini, mulai dari yang bakal segera dibeli, sampai yang paling mustahil dan hanya sebatas mimpi. Oya, sertakan juga alasan kenapa buku/benda itu masuk dalam <emwishlist kalian ya!
  3. Tinggalkan link postingan Wishful Wednesday kalian di Mr. Linky. Kalau mau, silakan tambahkan button Wishful Wednesday di posting kalian.
  4. Mari saling berkunjung ke sesama blogger yang sudah ikut share wishlistnya di hari Rabu =)

Happy Wednesday.

20130622-091605.jpg

[Book Review] Waiting by Ha Jin

book_info

hajin

book_blurb

For more than seventeen years, Lin Kong, a devoted and ambitious doctor, has been in love with an educated, clever, modern woman, Manna Wu. But back in his traditional home village lives the humble, loyal wife his family chose for him years ago. Every summer, he returns to ask her for a divorce and every summer his compliant wife agrees but then backs out. This time, after eighteen years’ waiting, Lin promises it will be different.

thoughtsLin Kong adalah dokter yang bekerja di rumah sakit militer. Tahun 1964, ia menikah dengan Shuyu karena permintaan orangtuanya setelah ia lulus dari sekolah kedokteran. Karena ibunya sakit keras, Lin mengiyakan dengan terpaksa.
Setelah ia bertatapmuka dengan Shuyu, ia terkejut mendapati Shuyu yang berusia 26 tahun terlihat tua seperti perempuan usia 40an. Selain itu, ia juga berpenampilan kuno, lengkap dengan kaki lotusnya. Selama dua dekade, Lin tidak mengijinkan istrinya untuk mengunjunginya di tempat kerjanya. Lin beranggapan, Shuyu tidak cocok dibawa keluar dari desanya.
Lin jatuh cinta pada seorang perawat yang bernama Manna Wu. Mereka menjalani hubungan rahasia karena peraturan rumah sakit yang melarang hubungan di antara staff rumah sakit. Hal ini bermula ketika seorang perawat dihamili oleh kekasihnya, dokter di RS tersebut. Keduanya dipecat dan dikembalikan ke kampung masing-masing.

Setiap tahun, Lin pulang ke desanya untuk menceraikan Shuyu, namun Shuyu selalu berubah pikiran setiap kali berhadapan dengan hakim di pengadilan cerai.
Manna sudah memasuki usia 40 tahun, dan ia sudah lelah menunggu perceraian Lin dengan istrinya.

Manna sendiri bukan gadis nakal. Ia masih begitu lugu ketika masuk akademi perawat tahun 1964. Ia bertemu seorang letnan bernama Mai Dong yang jatuh cinta padanya. Ia adalah kepala stasiun radio di pangkalan militer Muji. Manna mengaku berasal dari provinsi Shandong, menutupi fakta bahwa ia dibesarkan tanpa kampung halaman. Orangtua Manna meninggal karena kecelakaan di Tibet sewaktu Manna berusia 3 tahun.
Mai Dong membenci Muji karena cuaca ekstrim sewaktu musim dingin. Mai Dong melamar Manna, namun Manna bercerita kepada mentornya, Lin, dan meminta pendapat mengenai hal tersebut. Lin setuju dengan Manna, menikah cepat-cepat di tengah gejolak politik saat itu memang tidak bijaksana.
Manna menolak lamaran Mai Dong, dan berkata bahwa suatu saat ia pasti akan menjadi istrinya.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Manna tetap bekerja di Muji, sedangkan Mai Dong pindah ke Fuyuan, dekat dengan perbatassn Rusia, karena stasiun radionya dipindahkan ke sana.
Mereka sering berkirim surat dan bertukar cerita tentang keadaan masing-masing. Tiba-tiba, kabar mengejutkan datang dari Mai Dong yang menulis di suratnya bahwa ia kembali ke Shanghai dan permintaannya dikabulkan. Yang lebih membuat hati Manna hancur adalah Mai Dong memutuskan untuk menikah dengan sepupunya, karena dengan jalur tersebut ia bisa mendapatkan residence card (atau KTP mungkin ya kalau di Indonesia). Jauh sebelum bertemu Manna, Mai Dong ternyata sudah bertunangan dengan sepupunya itu.

Perlahan, hubungan Manna dan Lin semakin intim. Satu adegan yang romantis banget adalah ketika keduanya membereskan koleksi buku Lin, menyampulnya, dan jari-jari mereka secara tidak sengaja bersentuhan.
Lalu, kejadian berikutnya, jari mereka bertautan di tengah-tengah pertunjukan opera Cina. Wish I were Manna.

Pertengahan tahun 60an, departemen politik rumah sakit meminta staff untuk menyerahkan koleksi buku yang berbau ideologi dan sentimen Buorgeois, terutama karangan penulis asing. Lin menyerahkan buku-bukunya namun koleksinya yang tersampul rapi masih tersimpan di kamarnya. Manna berhenti meminjam novel dari Lin karena takut. Saat itu, Mao Zedong sedang menggalakkan ‘Revolusi Kultural’ dengan memperbarui spirit revolusi rakyat Cina yang membawa mereka memenangkan perang saudara 20 dekade lampau. Mao melarang segala bentuk pengaruh budaya borjuis dan kemewahan. Mao ingin memperkuat posisinya di pemerintahan yang sempat melemah. Pada masa itu juga terjadi krisis ekonomi di Cina. Mao membentuk kelompok paramiliter yang beranggotakan anak muda (dinamakan Pasukan Merah) untuk menyerang orangtua dan kaum cendekiawan. Sekolah nasional ditutup.

Tahun 1966, pihak rumah sakit juga mengurangi pemakaian kendaraan dan menggunakan kereta kuda dan berjalan jauh. Mereka terpaksa harus mendirikan tenda di tempat yang dapat dijangkau oleh para serdadu perang yang terluka.

Tahun 1973, belum ada perubahan berarti. Lin Kong memiliki sepupu bernama Liang Meng, ia duda dengan 3 anak. Awalnya, Lin menjodohkannya dengan Manna, namun tak berhasil. Dan seorang petinggi militer yang playboy juga sedang mencari istri. Ia tertarik pada Manna. Namun setelah melihat tulisan tangannya, ia memutuskan hubungan.
Geng Yang, komandan ajudan petinggi tersebut berkenalan dengan Lin ketika keduanya dirawat karena tuberkulosis. Manna yg mendengar cerita Lin tsb berniat utk menjenguk Geng Yang. Ketiganya cepat menjadi akrab. Gen Yang yang manly dan logis memberi masukan kepada Lin yang ingin mengajukan cerai pada istrinya.
Musibah menimpa Manna. Ia diperkosa oleh seseorang yang ia kagumi.
Berita dengan cepat menyebar. Pada saat itu, wanita korban perkosaan dipandang lebih rendah daripada seorang janda. Manna tertekan dengan segala sindiran dan perkataan tajam yang menghunjam harga dirinya.

Setelah 18 tahun menikah, Lin dan Shuyu bercerai di Muji. Tak lama kemudian, Lin dan Manna menikah. Di usia ke 44, Manna hamil. Setelah putra kembarnya lahir, hidup Lin Kong berubah. Segalanya tidak seperti yang diharapkannya.

I have mixed feelings about this novel. Beberapa bagiannya terasa begitu menyentuh. Ada bagian yang membosankan, dan ada juga bagian yang sangat menyebalkan dan terkesan lebay. Karakternya juga cenderung hateable, namun gue tidak keberatan dengan tokoh yang menyebalkan. Gaya penuturan Ha Jin pada awalnya terkesan begitu tergesa-gesa. Novel ini juga minim dialog, dan deskripsinya tidak mendetil, bahkan suka loncat.

Yang gue sukai dari novel ini adalah gue tidak bisa berhenti membacanya karena penasaran. Lalu background sejarahnya yang bikin gue begitu sering meminta bantuan Oom Google. Walau Lin Kong agak labil, dia adalah seorang bookworm yang memiliki koleksi buku-buku bagus. Diantaranya ‘War and Peace’ by Leo Tolstoy, ‘White Nights’ by Fyodor Dostoyevsky, juga ‘The Problem of Leninism’ by Stalin.

Sentuhan kultur Cina juga begitu kental. Seperti: foot-binding, yang sudah jarang dipraktekkan di tahun 50-60an, namun Shuyu masih dipaksa untuk mengikat kakinya. Juga disebutkan bahwa kebanyakan rakyat Cina lebih suka untuk memiliki anak laki-laki ketimbang anak perempuan karena faktor penerus keluarga.

Seandainya novel ini ditulis lebih detil dan tidak loncat-loncat, mungkin gue akan tambah satu poin lagi.

quotesCan good looks feed a family?

Another year? How many years do you have in your life?

He remembered that in Old China some rich men had several wives.

As a married man, why did he have to live like a widower? Why couldn’t he enjoy the warmth of a family? If only he hadn’t agreed to let his parents choose a bride for him. If only his wife were pretty and her feet had not been bound. Or if only she and he had been a generation older, so that people in the city wouldn’t laugh at her small feet.

Then, falling deeper into his dream, he saw a spacious home, which had a study full of hardcover books on oak shelves and several framed pictures on the walls.

I don’t understand why the Russians always wrote such fat novels.

You really don’t want to sleep with her? the voice persisted. No, honestly no. I love her and am attached to her, but that has nothing to do with sex. Our love is not based on the flesh.

A third party is like a semi-criminal.

Without him there would no longer be this home.

But what is a heart? Just a chunk of flesh that a dog can eat.

dream_castcast1cast3cast2

Shawn Yue as young Lin Kong
Shawn Yue sudah diakui kualitas aktingnya. Ia sering bermain dalam film yang digarap sutradara handal, seperti Infernal Affairs. Perawakannya juga cocok untuk menjadi dokter Lin Kong yang kurus dan tinggi.

Ariel Lin as young Manna Wu
Ariel sering berperan sebagai gadis lucu dan ceria. Gue pengin melihat dia sebagai Manna yang lugu dan sedikit serius.

Vanness Wu as Mai Dong
Vanness lebih sering berperan sebagai pria ceria, anak orang kaya dan menyenangkan. Gue pengin melihat dia sebagai Mai Dong yang menyebalkan. Memang porsi Mai Dong hanya sedikit, namun cukup melekat karena sifatnya yang mengesalkan membuatnya gampang diingat.

Li Bing Bing as young Shuyu
Li Bing Bing juga merupakan salah satu prominent actress dengan kualitas akting yang baik. Ia pasti cocok berperan sebagai Shuyu, gadis desa yang sederhana dan menurut pada suami.

Tony Leung Ka Fai as dr. Lin Kong
Entah mengapa, saat membaca novel ini, gue sudah membayangkan Lin Kong dengan wujud fisik Tony. Andy Lau terlalu tampan, sedangkan Tony Leung Chia Wai terlalu berkarisma. Takeshi Kaneshiro juga terlalu ganteng. Tony Leung Ka Fai yang paling cocok untuk berperan menjadi dokter ambisius yang terus membujuk istrinya untuk cerai.

Carina Lau as Manna Wu
Sosok Carina yang bersahaja dengan pembawaannya yang anggun sangat mewakili Manna Wu dewasa. Carina juga piawai untuk memerankan WIL tanpa terkesan murahan.

Michelle Yeoh as Shuyu
I adore Michelle Yeoh because she’s capable to play both antagonist and protagonist. Sosok Shuyu yang menua namun menyisakan kepolosan perempuan desa yang sederhana pasti sempurna jika diperankan oleh Michelle Yeoh.

20130330-114838.jpg

Until next time.

20130330-114856.jpg

[Book Review] Notasi by @Miss_Morra @Gagasmedia

book_infonotasi

book_blurbRasanya, sudah lama sekali sejak aku dan dia melihat pelangi di langit utara Pogung.
Namun, kembali ke kota ini, seperti menyeruakkan semua ingatan tentangnya; tentang janji yang terucap seiring jemari kami bertautan.

Segera setelah semuanya berakhir, aku pasti akan menghubungimu lagi.

Itulah yang dikatakannya sebelum dia pergi.
Dan aku mendekap erat-erat kata-kata itu, menanti dalam harap.
Namun, yang datang padaku hanyalah surat-surat tanpa alamat darinya.
Kini, di tempat yang sama, aku mengurai kembali kenangan-kenangan itu…

thoughtsNotasi mengambil setting kejadian saat reformasi pecah. Memori gue masih sangat tajam mengingat peristiwa itu.
1998, suatu hari gue terjebak tidak bisa pulang ke rumah. Para mahasiswa dari universitas lain berhenti di depan kampus kami. Banyak yang turun ke jalan Jend. Sudirman, berorasi, meneriakkan agar Soeharto turun. Lalu, terdengar tembakan, ada asap bergulung di depan kampus. Chaotic banget.
Banyak teman yang melakukan demo di gedung MPR. Gue tidak ikut. Alasan gue karena gue tidak suka berpolitik, gue juga tidak suka terkena asap, apalagi tembakan nyasar dari petugas. Banyak yang berdemo, sudah terwakilkan, gue nggak perlu ke sana.

Lalu terjadi pengrusakan, penjarahan, dan pemerkosaan. Berminggu-minggu gue hanya diam di rumah. Bokap juga nggak bisa kerja. Masa itu keadaan kami sulit. Bahan makanan juga sudah habis. Kami hanya bisa makan mie instan, bahkan dijatah sehari dua kali. Miris lah kalau inget kejadian saat itu.

Ketika kembali ke kampus, keadaan sudah sangat berbeda. Banyak teman ras Tionghoa yang tidak kembali ke kampus. Ada kabar, mereka pindah ke Amerika dan Australia. Sedih banget dengernya. Beberapa tahun setelah reformasi lewat, gue pernah mendapat kabar dari seorang teman. Ia bersumpah tidak akan pernah menginjakkan kakinya lagi ke Indonesia. Efek traumatisnya sedemikian dahsyat. Gue ingat, banyak toko dipilox dengan tulisan ‘Milik Pribumi’, nggak penting karena WNI semuanya pribumi menurut gue. Gue benci dengan <em>racism</em>, sampe gue pernah takut untuk mengaku keturunan Cina. Duh, jadi pengin nangis lagi kalo inget diskriminasi/<em>racial slurs</em> yang gue terima sampe gue pernah dianiaya secara fisik (dan verbal) oleh orang tak dikenal gara-gara isu ras.

Balik lagi ke Notasi, gue sama sekali buta dengan keadaan pra dan pasca reformasi di Jogja. Namun, deskripsi Morra mampu membuat gue bisa mengira-ngira seperti apa suasana di sana.
Dan, Chiclets, memorable banget, salah satu permen kesukaan gue selain Chelsea.

Beberapa nama yang ngetop di era Soeharto, seperti Petrus, juga dibahas di novel ini. Jadi ingat tentang cerita seseorang yang pernah bekerja dengan mantan orang nomor satu di Indonesia itu. Soeharto dijuluki <em>’Smiling General</em>, jarang bicara namun mengerikan. Ia pernah berkata, sebaiknya kita tersenyum di depan (musuh kita), lalu tanpa musuh tahu, kita habisi ia di belakang.
Mungkin Soeharto mempelajari buku Tsun Zu’s Art of War ya. Juga majalah Tempo yang dibredel ketika menampilkan cover dengan gambar Soeharto yang ditempel kartu remi.

Nalia, mahasiswi kedokteran gigi yang ayahnya adalah mantan dekan teknik pertanian, terlibat dalam organisasi radio mahasiswa di kampusnya. Karena itulah ia bertemu dengan Nino, mahasiswa fakultas teknis yang menarik perhatiannya.
Kedua fakultas tersebut ‘bermusuhan’. Radio Jawara milik fakultas teknik tidak memiliki izin siaran. Demikian juga dengan Gama FM milik fakultas kedokteran. Singkat cerita, mereka jadi dekat karena aktif di BEM. Sebuah penyerangan saat berlangsung acara di kampus membuat keduanya menjadi semakin dekat. Ada oknum militer yang menyusup di antara penonton dan membuat huru-hara di UGM, gara-gara salah satu karya tulis yang masuk menyinggung presiden. Ciri khas Orba, tidak boleh menghina presiden. Namun, lambat laun, hubungan Nalia dengan Nino semakin dekat. Ketegangan antarfakultas juga melemah karena keadaan membutuhkan mereka untuk bersatu.

Singkat cerita, novel ini bercerita tentang kisah cinta masa lalu yang masih mengganjal.

Masih ada typo di:

Hal. 4: sertalaki-laki
Hal. 8: siarantanpa.
Hal. 8: gelap, Sayang.Ini sudah malam. (ga pakai spasi)
Hal. 9: hari yang cerah,Puncak Merapi … (ga pakai spasi)
Hal. 20: universitasperiode
Hal. 28: mahasiswaTeknik
Hal. 28: membuatkumengerti
Hal. 37: setelah ini,enggan berlama-lama
Hal. 38: Tengkutahu itu
Hal. 40: itubelum
Hal. 42: suarak (mungkin seharusnya suaraku)
Hal. 45: hargaberbagai
Hal. 50: Kecepatannya rendah.Kendaraan itu
Hal. 53: padatahun-tahun
Hal. 53: laki-lakiawal
Hal. 53: baying-bayang
Hal. 55: memengaruhinyasama
Hal. 56: kurasakania
Hal 59: banyak mata mata terarah kepadanya
Hal. 64: kampuskota
Hal. 74: Iaberpaling
Hal. 87: telahmereka
Hal. 93: tahukampanye
Hal. 93:.orang.Apalagi
Hal. 103: Mahasiswayang
Hal. 108. jera.Mungkin

Sebenarnya masih banyak lagi typo yang terdeteksi, namun gue ribet juga kalo nyatetin semuanya. Semoga kalau dicetak ulang sudah bersih dari typo 🙂

quotesJangan menangis di depan korban saat kamu menjadi relawan. (hal. 4)

Sebelum kalian bentak-bentak anak orang seolah mereka paling bodoh sedunia, pastikan kalian sudah berprestasi dulu. (hal. 33)

Kemarahan orang-orang terhadap kinerja presiden negara sudah semakin menjadi – sebuah potensi ledakan besar yang tampaknya hanya tinggal menunggu waktu. (hal. 45)

Saat-saat istimewa dalam hidup kita selalu datang tanpa peringatan. ( hal. 52)

Di bawah tekanan emosi rasa takut, marah, sedih, atau jatuh cinta, semua orang pasti menunjukkan warna asli mereka. (hal. 58)

Bahwa sejak pertama negeri ini berdiri, yang diwariskan kepada Presiden Sukarno adalah sisa-sisa perang yang hampir tak dapat dibangun lagi. (hal. 133)

Diskusi untuk Reight Book Club:

1. First Impression

Covernya vintage banget. Gue suka.

2. How did you experience the book?

Terus terang, gue perlu waktu untuk memahami karakter beserta motif dan posisinya serta hubungannya antara dengan satu dengan yang lain. Memasuki halaman 60-an, gue baru ‘mudeng’. Morra piawai memasukkan kalimat yang quotable dan kata-katanya juga indah. Puitis, sedikit nyastra namun nggak mendayu-dayu. This is my first experience with Morra.

3. Characters

Nino itu tipe cowok likeable. Auranya misterius, tinggi, dan manly banget.

Nalia ya cewek banget, yang impulsif dan lebih mengedepankan perasaan daripada logikanya. Agak mengesalkan juga sebenarnya si Nalia ini.

Tokoh-tokoh pendukungnya tidak terlalu dalam digali, ya namanya juga figuran. Morra sepertinya bisa bikin spin off deh dengan menampilkan Tengku dan Lin Lin. Tema percintaan yang beda memang banyak, namun gue masih penasaran dengan cara pengangkatan Morra.

4. Plot

Plotnya menarik, isu yang diangkat tentang radio memang belum banyak digali oleh penulis di sini. Terus terang, ini novel ketiga yang gue baca yang mengangkat tema radio, namun Notasi memang paling detil. Alurnya agak lamban, membuat gue menerka-nerka tentang arah ceritanya. Tokoh utamanya bercerita secara flashback ketika ia kembali ke Yogyakarta, lalu memori di kampus muncul, lalu ia bercerita tentang cinta lamanya.

5. POV

Notasi diceritakan dari sudut pandang Nalia. Novel ini menggunakan single POV.

6. Main Idea/Theme

Tema reformasi memang selalu menarik untuk digali, namun sedikit menakutkan bagi gue. Pengalaman buruk saat itu memang bikin gue selalu bergidik kalau mendengar kata reformasi, tahun 1998, kejatuhan Soeharto. Menurut gue, tema radionya yang lebih menarik minat gue, karena Morra memberikan detil cara mendirikan radio dengan baik dan benar. Sejarah radio juga dibahas sedikit.

7. Quotes

Cek bagian quotes di atas 🙂

8. Ending

Gue sempat bertanya-tanya tentang Nino dan Faris, tapi terjawab kok di bab terakhir. Setiap orang punya takdirnya masing-masing 🙂

9. Questions

Mor, dapat ide tentang reformasi dan radio itu gimana ceritanya? Lalu, tokoh-tokohnya semua rekaan atau duplikat dari yang benar-benar ada?

Lalu, berapa lama butuh waktu untuk observasi dan menulis novel Notasi?

10. Benefits

Yes, banyak banget benefit membaca buku ini. Selain mempertajam memori tentang peristiwa tahun 1998 itu, gue juga belajar merangkai diksi yang asik, juga jadi tahu tentang sejarah radio. I’m a sucker for history. Peristiwa Malari tahun 1974 juga dibahas, membuat gue jadi kepengin baca buku-buku sejarah terbitan Komunitas Bambu.

Well, done, Mor. Ditunggu buku selanjutnya ^^

20130330-114838.jpg

20130330-114856.jpg

15 Day Book Blogging Challenge Day 8: 15 Bullets

Belum sempat posting review karena kecepatan membaca gue agak melamban, mengikuti irama cuaca yang mellow dan slow (bad excuse banget ya) ditambah flu yang menghadang, jadilah baru hari ini gue bisa posting lanjutan challenge ini. Nggak kerasa udah hari ke-8 gue ikutan’15 Days Book Blogging Challenge’. So far masih mampu untuk memposting challenge ini secara rutin.

20130716-054054.jpg

Perintah hari ini adalah:

Quick! Write 15 10 bullet points of things that appeal to you on blogs!

* Tampilan blog yang menarik

I’m a sucker for pretty designs. Gue betah berlama-lama memandangi header juga pernak-pernik sebuah blog yang cantik, seperti blog Pure Imagination

* No ads

Blog yang penuh iklan itu ibarat pasar, keramean.

* Review

Apa artinya sebuah blog buku tanpa postingan resesnsi. Biasanya gue suka mengintip blog buku yang mereview genre buku yang gue suka. Gue juga suka memperhatikan cara seseorang menulis review, sekaligus belajar.

* Simplicity

Selain stalking, gue juga suka meninggalkan komen. Namun, beberapa blog disetting agak ribet. Gue harus memasukkan kode-kode illuminati supaya postingan gue bisa ditampilkan. Gue mengerti, maksudnya untuk menghindari spam. Tapi tetep aja it takes time, sedangkan gue orangnya nggak sabaran.

* Giveaways

Nah, ini yang membuat gue tertarik untuk mengunjungi suatu blog, hehehe. Dulu gue rajin ikutan giveaway dan mengisi rafflecopter yang ribet. Sekarang gue lebih seektif untuk ikutan. Males ngikutin peraturan yang mengharuskan peserta untuk posting di blog.

* Informatif

Selain review, gue suka banget membaca tulisan blogger tentang tempat belanja buku, seperti blognya Bu Dokter yang membuat gue iri setengah mati. Traveling sambil book hunting itu pasti serunya ampun-ampunan.

* Reading Challenge

Gue salut sama book blogger yang membuat reading challenge. Walau gue sering gagal dalam menyelesaikan challenge, gue merasa tertantang untuk bisa disiplin dalam mengejar target mengurangi timbunan.

* Meme

Ini juga salah satu faktor gue menyukai suatu blog. Thank you untuk semua blogger yang kreatif membuat meme yang lucu-lucu sehingga gue terpacu untuk rajin posting 🙂

* Artikel

Gue suka sekali membaca artikel perbukuan di blog. Blogger yang kreatif tidak hanya memuat book review, tapi mengupas bookish issues yang menarik untuk dibahas. Misalnya: diskusi tentang ebook vs buku fisik, artikel tentang penulis, atau secuplik cerita tentang serunya berburu buku.

* Tulisan

Blogwalking adalah salah satu kegiatan yang gue suka. Gue adalah silent reader untuk beberapa blog. Gue suka memperhatikan cara blogger menulis, selain untuk belajar juga. Gue suka sama blogger yang kritis dan mampu mengemukakan pendapatnya tanpa menyerang pihak tertentu. Komposisi tulisan seorang blogger juga menjadi daya tarik bagi gue. Kalau penggunaan bahasa (formal atau informal), tidak menjadi masalah bagi gue.

 

Yang ingin berpartisipasi ikutan challenge ini, bisa klik blognya April dan tinggalkan linkmu di sana.

Happy Tuesday!

20130716-060442.jpg

So Many Books, So Little Time

20130728-083101.jpg

Hal yang kerap dikeluhkan oleh avid reader adalah so many books, so little time, jargon yang juga terkenal karena diucapkan oleh Frank Zappa.

Seorang ibu rumah tangga kayak gue yang punya banyak waktu luang lebih daripada ibu-ibu kantoran atau anak kuliahan juga mengeluhkan hal yang sama. Masalahnya, walau di rumah, gue juga harus mengurus anak, antar-jemput sekolah, mengurus suami, bebenah rumah, dan lain-lain. Belum distraksi acara TV dan internet, semakin menipiskan waktu untuk membaca.

Selain itu, kebiasaan menimbun buku juga penyakit kambuhan yang sulit untuk disembuhkan. Beneran deh, info sale, bazaar, diskonan, dan kawan-kawannya itu begitu menggoda, sampai gue rela mantengin internet untuk mencari buku idaman dengan harga murah. Sekali lagi, seperti yang sering didengungkan oleh penasihat finansial, belanja saat diskon justru lebih boros karena kita biasanya tergoda untuk membeli lebih banyak dari yang kita butuhkan. Ini bener banget, sangat bener karena hal itu yang menimpa gue beberapa kali. Yang ada budget untuk belanja buku malah membengkak berkali-kali lipat.

Reading Challenge juga salah satu pemicu gue untuk membaca buku. Tantangan dengan berbagai tema menarik (yang walau bisa overlap), namun malah membuat gue keteteran dalam mengikutinya. Akhirnya, gue harus rela tidak bisa melanjutkan beberapa tantangan karena nggak sanggup mengikuti semuanya. Salah sendiri, keburu napsu mendaftar challenge ini dan itu. Akhirnya, gue hanya mengikuti beberapa saja yang kira-kira bisa diikuti. Target membacanya juga dibatasi hanya 3 buku per challenge.

Saat ini, gue masih berjuang untuk menyelesaikan beberapa buku yang harus dibuat resensinya. Menantang dan sangat memicu adrenalin, hahaha. Namun ya itu, tidak semua bisa diselesaikan sesuai target di awal. Misalnya, gue mengikuti Canadian Reading Challenge bulan ini. Targetnya sih baca 3 buku, namun hingga detik ini belum satu pun buku yang kelar di baca. *melirik novel Story Girl di sisi ranjang*

Problem gue yang lain adalah I’m a multiple reader alias tukang selingkuh, alias tidak bisa setia membaca satu buku, lalu setelah selesai, baru membaca buku lainnya. Selalu ada dua atau tiga buku yang dibaca secara bergantian. Memang sih membuat pace membaca jadi lamban, namun gue juga belum bisa menyembuhkan penyakit satu ini, karena mudah tergoda untuk membuka buku yang sepertinya menarik untuk diselingkuhi.

Gue selalu berjanji untuk tidak membeli buku dulu sebelum selesai membaca timbunan, namun hal itu masih menjadi polemik batin dan belum bisa diatasi. Jadinya, buku semakin menumpuk sementara waktu berjalan dan span hidup gue semakin berkurang tiap detiknya.

Adakah yang memiliki keluhan yang sama dengan gue? Bagaimana cara mengatasinya?

Share yuk di sini, siapa tahu kita bisa mendapat solusi.

Happy Sunday!

20130330-114856.jpg

Button from here

[Book Review] Simple Lie by @NinaArdianti @Gagasmedia

book_infoSimple_Lie

book_blurba story about a girl who had a perfect life

Cantik, pintar, aktivis, popular, almost perfect di semua bidang, akademis maupun non-akademis. Digilai para cowok dan (diam-diam) dikagumi para cewek. Dan yang makin membuat dia dikagumi adalah karena sikapnya yang low profile, ramah ke semua orang, dan very down to earth.

a perfect mate

Happy First Anniversary, Re…,” ujar Fedi pelan.
Rere terdiam sesaat. Speechless. Nggak bisa berkata apa-apa. Ia lalu menatap Fedi dengan mata yang berkaca-kaca. How can she forget this day? Fedi ingat. Bahkan melakukan ini semua untuk Rere.

til another unperfect one came into her life

“Emang nggak bisa ganti ban sendiri ya?”
“Ya nggak bisa laaaah…. Gue cuma bisa makenya doang. Urusan bener-benerin mah payah, huehehe….”
Girls….” Ilham menatap Rere dengan pandangan mencela yang menyebalkan, “Trus apa yang akan lo lakukan seandainya gue nggak muncul dan menyelamatkan lo seperti pangeran di dongeng-dongeng?”

and changed her perfect life

“Gue nggak tau sampai kapan, Re,” jawabnya jujur.
“Tapi, kalau sampai titik di mana gue ngerasa bahwa batas waktu itu akan datang dan lo belum juga bisa memutuskan…”
Rere mengangkat wajahnya balas menatap Ilham yang sedang berbicara.
“… biar gue sendiri yang menentukan pilihan, Re….”

then everything is not as it seems

a novel about love:
find a desired one… without any doubt.

thoughtsRere itu cantik, pintar, rada tomboy, easy going, menyenangkan. Itu kesan pertama gue saat membaca bab awal novel ini. Rere memiliki seorang pacar yang kuliah di Fakultas Ekonomi, namanya Fedi. Dulu, Fedi adalah senior Rere di SMA. Fedi itu ganteng, kalem, dan perhatian sama Rere. Fedi juga pacar yang romantis. Ditengah kantin tiba-tiba Fedi memberi Rere kado berwarna pink dan mengucapkan happy anniversary. Namun, kehadiran Ilham, si cowok rada tengil tipe bad boy dengan wajah yang nggak kalah tampan berhasil mencuri perhatian Rere.

Karena kesibukan Fedi sebagai PO Festival Jazz FE, ia agak menelantarkan Rere. Pada kesempatan itu, Ilham sering bertemu dengan Rere. Mudah ditebak, Rere-Ilham-Fedi terjebak dalam cinta segitiga Bermuda. Apalagi, ketika Rere sedang membutuhkan bantuan, bukan Fedi yang ada di sampingnya, melainkan si beautiful stranger Ilham.

Ide novel ini sederhana. Bahasanya juga meremaja dan gaul banget. Nina menggambarkan suasana kampus sedemikian rupa sampai gue jadi teringat akan masa-masa kuliah dulu di mana terselip kisah sang mantan, hehehe.

Gue setuju dengan Nina, bahwa takdir itu seperti spiderweb. Manusia terhubung dengan manusia lainnya, lalu saling terhubung membentuk jaring-jaring, lalu pertemuan bisa menarik garis nasib yang baru. Jika garis itu begitu kuat, kemungkinan takdir yang merekatkannya.

Beberapa dialog terkesan cheesy, ketika Rere dan Fedi janjian bertemu untuk pergi ke QB (I miss that place). Tapi gue maafkan karena pick up line anak muda tahun 2007 tentu beda dengan yang dipakai anak-anak sekarang.

Lalu, yang bikin gue mengernyitkan dahi adalah saat Rere bilang pada Fedi bahwa Saskia lebih cantik dari dirinya. Errr, what’s the point?

Terus, scene Angga yang mengantar Rere untuk menaruh buku kurang penting. Namun, bisa dibuat jadi lebih menarik kalau kekonyolan Angga digali (gue langsung teringat Raditya Dika. Seandainya novel ini difilmkan, dia cocok banget jadi Angga).

Kalau gue boleh jujur, I don’t like the cover. Please, Gagas, kalau mau rilis ulang novel ini, kasih cover yang keren ya. This one is unflattering.

Masih ditemukan beberapa typo, namun nggak mengurangi esensi cerita.

Simple Lie adalah pengalaman pertama gue membaca karya Nina. I was impressed. Gue pernah membaca novel dengan genre yang sama, sempat difilmkan dan heboh saat itu, but it was a major turn off for me.  Gue jadi mau membaca novelnya Nina yang lain gara-gara Simple Lie ini. Cara bertutur Nina mengalir, cewek banget, dan crunchy kaya apple crisps. Dan selama membaca Simple Lie, gue tersenyum hampir tak berhenti, sampai gue mendaftar sebagai anggota #TeamIlham :))
Karena Ilham bad boy, cuek, songong, tengil, tapi romantis, suka baca Coelho, dan memiliki perasaan yang sensitif. Tipe cowok yang bikin gue melting kalau ketemu saat kuliah.

Tema cinta segitiga empat memang bukan tema yang baru, namun Nina mampu meraciknya dengan manis dan bikin gue geregetan. Simple Lie is a page turner. Simply love it.

quotesSaat kita mengenal seseorang lebih dekat – yang dulu biasanya mungkin hanya pemeran figuran dalam hidup kita – tiba-tiba saja ada begitu banyak kejadian yang langsung menghubungkan diri kita dengan orang tersebut. (hal. 49)

Mengenal Ilham itu kayak memakan MnM’s. Rere nggak pernah tahu warna apa yang akan ia ambil dari dalam bungkus cokelat itu. (hal. 84)

Kadang hati memang punya jalan pikirannya sendiri. (hal. 90)

Biasanya, orang yang udah mulai bohong sekali, maka akan menciptakan kebohongan berikutnya untuk menutupi kebohongan yang sebelumnya. (hal. 107)

dream_castSaatnya berkhayal untuk jadi casting director atau sutradara. Simple Lie ini movieable loh. Coba, produser, baca deh novelnya. Kalau dibikin film pasti seru banget. Cocok untuk ditayangkan saat liburan semesteran.

Pemeran yang (menurut gue) cocok untuk mewakili tokoh-tokoh yang diciptakan Nina adalah:

SLSL2

20130330-114838.jpg

Until next time!

20130725-125307.jpg

[Book Review] The Rescue by Nicholas Sparks @Gramedia

book_infotherescue

book_blurb

Dalam badai besar di kota Edenton, Denise Holton mengalami kecelakaan mobil dan kehilangan Kyle, putranya. Para penduduk kota melakukan pencarian yang melelahkan, namun Taylor McAden-lah orang yang menjadi pahlawan penyelamat mereka.

Sejak penyelamatan itu, hubungan Taylor dan Denise berkembang menjadi lebih serius. Ketika hubungan mereka sampai ke tahap yang membutuhkan komitmen dan tanggung jawab dari Taylor, lelaki itu malah menjauh dari Denise.

Kepedihan masa lalu yang tak pernah diceritakannya pada siapa pun membuat Taylor menjaga hatinya agar tidak jatuh cinta pada siapa pun. Itu sebabnya sebagai sukarelawan pemadam kebakaran, Taylor menjalani hidup dengan nekat, melakukan penyelamatan demi penyelamatan yang menantang maut. Sebelum semuanya terlambat, giliran Denise yang harus menyelamatkan hidup Taylor… membuat lelaki itu berani menghadapi kenyataan dan cinta mereka.

thoughts

The Rescue adalah novel kedua karya Nicholas Sparks yang gue baca setelah The Notebook. Temanya sederhana namun begitu nancap di hati dan meninggalkan kesan yang mendalam. Selama membaca buku ini, gue harus berhenti sejenak untuk menarik napas panjang dan menyeka airmata.

Denise adalah seorang single mother yang memiliki seorang putra berusia empat tahun yang kemampuan bicaranya agak terlambat (mungkin speech delay. Anak gue juga mengalami hal serupa namun tidak separah Kyle. So I really feel Denise). Ia kembali ke Edenton untuk memulai hidup baru. Di sana, ia bertemu dengan Taylor pertama kali ketika ia berhasil menemukan Kyle yang sempat hilang gara-gara kecelakaan di hutan.

Hubungan keduanya terjalin perlahan, namun di tengah-tengah, Taylor seperti ketakutan dan memilih untuk menjaga jarak dengan Denise, membuat Denise bingung.

Drama juga terjadi dalam keluarga Taylor. Ia masih dihantui bayangan masa kecilnya. Suatu peristiwa membuatnya trauma dan menyalahkan diri sendiri, dan mempengaruhi sikapnya terhadap hubungannya dengan Denise, sesuatu yang ia tidak sadari. Gue nggak mau kasih spoiler. Walau novel ini menguras airmata dan emosi, endingnya memuaskan kok.

Ciri khas Nicholas Sparks adalah kehidupan keluarga di Selatan, background agama yang kuat dari tokohnya, dan juga suasana kota kecil yang hangat dan membuat jiwa sejuk saat membacanya. Kehangatan dan kesederhanaan keluarga ala Southern Amerika juga begitu terasa. I think I’m officially a fan. Novel ini menurut gue jauh lebih bagus daripada The Notebook.

quotes

Kalau kau tahu betapa kerasnya dia harus berusaha bisa mengerti banyak hal… Berapa besar usahanya membuat orang lain bahagia… Betapa besar dia ingin orang lain menyukainya, hanya untuk diabaikan pada akhirnya. (hal. 223)

Belakangan ini, tampaknya banyak orang percaya bahwa semua itu hanya bisa diperoleh dari pekerjaan, bukan dari menjadi orangtua, dan banyak orang yakin mempunyai anak-anak tak ada hubungannya dengan membesarkan anak-anak. (hal. 285)

Ibuku percaya bahwa seseorang memang ditakdirkan untuk orang lain. (hal. 301)

Setiap orang punya masa lalu, setiap orang punya harapan, andaikan mereka bisa mengubah masa lalunya. Tapi kebanyakan orang tidak berkeliling lalu menghancurkan hidup mereka sekarang hanya karena masa lalunya. (hal. 406)

Aku iri pada pandangannya tentang hidup. Dia melihatnya sebagai pertandingan besar, di mana satu-satunya cara untuk menang adalah dengan bersikap baik pada orang lain, agar bisa memandang dirimu sendiri di cermin dan menyukai apa yang kaulihat. (hal. 426)

dream_cast

Kalau gue boleh berandai-andai, gue kepengin banget The Rescue the Movie peran utamanya sbb:

20130725-124759.jpg

Ryan Reynolds as Taylor McAden, seorang sukarelawan pemadam kebakaran yang memiliki masa lalu suram yang kerap menghantuinya.

20130725-124817.jpg

Drew Barrymore as Denise Holton, mantan guru yang menjadi single mother yang mencintai Taylor.

20130725-125152.jpg

Until next time!

20130725-125307.jpg

Wordless Wednesday: Book Paintings

ww

20130724-074946.jpg

Original pic from here.

Join Wordless Wednesday here

Happy Wednesday!

20130622-091605.jpg

Wishful Wednesday 23: Helga’s Diary

20130403-124544

Ketemu lagi dengan hari Rabu, saatnya make a wish berjamaah dan berkhayal tentang buku yang diidam-idamkan.

Gue sangat suka melancong ke berbagai blog buku dan kalau blognya menarik, langsung gue follow. Karena mengikuti berbagai blog, otomatis semua resensi dan rekomendasi menghujani email. Ada satu email yang masuk dan gue membaca reviewnya tanpa berkedip. Ini bukunya:

20130719-010509.jpg

“The most moving Holocaust diary published since Anne Frank”. (Telegraph).

Helga’s Diary is a young girl’s remarkable first-hand account of life in a concentration camp during World War II. Like The Diary of Anne Frank this is a publication of international importance and a book that will endure for decades. In 1938, when her diary begins, Helga is eight years old. Alongside her father and mother and the 45,000 Jews who live in Prague, she endures the Nazi invasion and regime: her father is denied work, schools are closed to her, she and her parents are confined to their flat. Then deportations begin, and her friends and family start to disappear. In 1941, Helga and her parents are sent to the concentration camp of Terezin, where they live for three years. Here Helga documents their daily life – the harsh conditions, disease and suffering, as well as moments of friendship, creativity and hope – until, in 1944, they are sent to Auschwitz. Helga leaves her diary behind with her uncle, who bricks it into a wall to preserve it. Helga’s father is never heard of again, but miraculously Helga and her mother survive the horrors of Auschwitz, the gruelling transports of the last days of the war, and manage to return to Prague. As Helga writes down her experiences since Terezin, completing the diary, she is fifteen and a half. She is one of only a tiny number of Czech Jews who have survived. Reconstructed from her original notebooks, which were later retrieved from Terezin, and from the loose-leaf pages on which Helga wrote after the war, the diary is presented here in its entirety, accompanied by an interview with Helga and illustrated with the paintings she made during her time at Terezin. As such, Helga’s Diary is one of the most vivid and comprehensive testimonies written during the Holocaust ever to have been recovered. Helga Weiss was born in Prague in 1929. Her father Otto was employed in the state bank in Prague and her mother Irena was a dressmaker. Of the 15,000 children brought to Terezin and later deported to
Auschwitz, only 100 survived the Holocaust. Helga was one of them. On her return to Prague she studied art and has become well known for her paintings. The drawings and paintings that Helga made during her time in Terezin, which accompany this diary, were published in 1998 in the book Draw What You See (Zeichne, was Du siehst). Her father’s novel And God saw that it was bad, written during his time in Terezin and which she illustrated, was published in 2010. In 1954 Helga married the musician Jiri Hosek. She has two children, three grandchildren and lives to this day in the flat where she was born.

Gue belum bisa move on dari tema Holocaust. Sejak membaca ‘The Boy in the Striped Pyjamas’, keingintahuan gue tentang kejadian WWII dan segala detilnya malah makin menjadi. Seperti buku harian Anne Frank, jurnal Helga juga banyak dibicarakan orang dan (kembali) menuai kontroversi. Yang protes tentu saja kebanyakan adalah Holocaust deniers.
Helga yang sekarang berusia 84 tahun masih ingat detil kejadian mengerikan di kamp konsentrasi, di mana ia dan 15,000 orang lainnya disekap.
Helga mengaku masih berhubungan dengan Holocaust survivors lainnya yang sudah tua dan menjanda. Ia bercerita, setiap kali diundang ke sekolah untuk berbicara tentang Holocaust, ia terguncang. Tapi, Helga bersedia memberi kesaksian kepada anak-anak supaya mereka mencintai sesama.

Artikel tentang buku Helga bisa diklik di sini, dan di sini.

Baca juga excerpt ‘Helga’s Diary’ part 1 di sini

Yang mau ikutan Wishful Wednesday:

  1. Silakan follow blog Books To Share – atau tambahkan di blogroll/link blogmu =)
  2. Buat posting mengenai buku-buku (boleh lebih dari 1) atau segala hal yang berhubungan dengan kebutuhan bookish kalian, yang jadi inceran kalian minggu ini, mulai dari yang bakal segera dibeli, sampai yang paling mustahil dan hanya sebatas mimpi. Oya, sertakan juga alasan kenapa buku/benda itu masuk dalam <emwishlist kalian ya!
  3. Tinggalkan link postingan Wishful Wednesday kalian di Mr. Linky. Kalau mau, silakan tambahkan button Wishful Wednesday di posting kalian.
  4. Mari saling berkunjung ke sesama blogger yang sudah ikut share wishlistnya di hari Rabu =)

Happy Wednesday.

20130622-091605.jpg

Scene on Three 2: The Rescue

sceneon3

Akhir bulan Juli tiba, nggak sabar menunggu libur Hari Raya di mana gue bisa makan kenyang, hihihi.

Di penghujung bulan ini, gue ingin mengutip satu bagian dari novel ‘The Rescue’ yang ditulis oleh Oom Nicholas Sparks. Siapa yang nggak kenal ama bapak romance satu ini?

‘The Rescue’ bercerita tentang penyelamatan (dalam arti harfiah dan implisit). Ceritanya mengalir, ada bagian yang menegangkan, mengharukan, juga romantis tapi tidak berlebihan. Sejujurnya, gue lebih suka novel ini dibanding ‘The Notebook’. Semoga saja novel ‘The Rescue’ difilmkan dengan bintang utama Drew Barrymore dan Ryan Reynolds, karena mereka berdua yang muncul dalam pikiran saat Denise dan Taylor berdialog.

Without further ado, here’s one of my favorite scenes from the book:

kissOriginal pic from here

Ketika mereka berjalan meninggalkan pelabuhan dan menuju pusat kota lagi, Denise tercengang menyadari dunianya sudah jauh berubah akhir-akhir ini; dan dia sadar semua itu ada hubungannya dengan pria di sampingnya ini. Namun, tak pernah sekali pun, padahal begitu banyak yang telah dilakukan Taylor untuknya, Taylor memaksa Denise membalas kebaikannya, dengan sesuatu yang belum siap dilakukan Denise. Bahkan Denise-lah yang duluan mencium Taylor, dan dia juga yang mencium Taylor kedua kalinya. Bahkan ketika Taylor tinggal sampai malam di rumah Denise setelah seharian di pantai, Taylor pulang ketika dia merasa sudah saatnya pulang. (hal. 295)

Bagian itu adalah salah satu alasan gue menyukai Taylor karena dia sangat santun dalam memperlakukan Denise, padahal Denise adalah single mother yang memiliki seorang anak di luar nikah.
Bayangkan kalau laki-laki hidung belang yang ada di posisi Taylor, entah apa yang akan dilakukannya kepada Denise. Gue selalu teringat dengan perkataan nyokap yang pernah bilang bahwa lelaki yang baik (dan pantas untuk dinikahi) akan selalu memperlakukan perempuan dengan baik dan santun. Terbukti, Taylor memang dekat dan sangat menghormati ibunya, sama seperti ia memperlakukan Denise. Teori yang mengatakan bahwa cara pria memperlakukan istri adalah cerminan ia memperlakukan ibunya sepertinya benar.

Tipe cowok kaya Taylor ini nggak fiktif kok. Seorang teman yang menikah dengan cowok bule asal Canada pernah bercerita kalau suaminya itu waktu sebelum menikah sopan banget, bahkan dia sangat menghormati curfew dan selalu menjemput dan mengantarnya sambil berpamitan pada orangtua temen gue yang cewek ini. Si bule ini memang tidak tinggal di Indonesia. Sepertinya cowok-cowok bule yang tidak pernah tinggal di sini perilakunya jauh lebih baik. Untuk membahas perilaku bule yang tinggal di sini nanti saja kalau kopdar ya ^^

sceneonthree

Ikutan Scene on Three yuk. Caranya:

    1. Tuliskan suatu adegan atau deskripsi pemandangan/manusia/situasi/kota dan sebagainya ke dalam suatu post.
    2. Jelaskan mengapa adegan atau deskripsi itu menarik, menurut versi kalian masing-masing.
    3. Jangan lupa cantumkan button Scene on Three di dalam post dengan link menuju blog Bacaan B.Zee.
    4. Masukkan link post kalian ke link tools yang ada di bawah post Bacaan B.Zee, sekalian saling mengunjungi sesama peserta Scene on Three.
    5. Meme ini diadakan setiap tanggal yang mengandung angka tiga, sesuai dengan ketersediaan tanggal di bulan tersebut (tanggal 3, 13, 23, 30, dan 31).

Until next time!

20130330-114856.jpg