Blog Archives

100 Hari Membaca Sastra Indonesia

image

Halo…

Menyambut Hari Sastra Indonesia yang jatuh pada tanggal 3 Juli mendatang, saya ingin mengadakan event kecil-kecilan di blog ini, yaitu tantangan membaca buku sastra Indonesia selama 100 hari.

Kenapa sastra Indonesia? Karena saya sendiri merasa masih kurang membaca buku sastra Indonesia, sekaligus mengajak teman-teman untuk baca bersama. Tujuannya untuk mengapresiasi karya sastra negeri sendiri.

Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai kategori sastra Indonesia dan buku apa saja yang direkomendasikan, bisa buka link yang ini, ini, atau ini.

Boleh juga intip karya pemenang dan nominasi Khatulistiwa Literary Awards, Dewan Kesenian Jakarta, Anugerah Pembaca Indonesia, dan Penghargaan Sastra Indonesia, Yogyakarta.

Peraturan
1. Membaca setidaknya satu buku sastra karya penulis Indonesia
2. Karya sastra boleh novel, kumpulan cerita, puisi, prosa, dll. Yang jelas fiksi ya, bukan non fiksi.
3. Membuat resensi dan menampilkannya di blog, FB note, atau Goodreads.
4. Membuat tautan resensi di linky paling bawah.
5. Periode event ini mulai 3 Juli 2015 sampai 10 Oktober 2015.
6. Linky dibuka sampai tanggal 15 Oktober 2015. Lewat tanggal tersebut, resensi yang didaftarkan akan dihapus.
7. Boleh membuat postingan event ini di blog masing-masing dan membuat daftar bacaan selama periode berlangsung, tapi tidak wajib.
8. Pemenang akan diundi dan diumumkan tanggal 25 Oktober. Akan ada 2 orang pemenang. Masing-masing mendapatkan hadiah buku yang bisa dipilih sendiri senilai @ 100rb rupiah.

Ayo siapkan buku bacaanmu dan selamat membaca 🙂

image

[Book Review] Larasati by Pramoedya Ananta Toer

posting bareng BBI 2014

https://lustandcoffee.files.wordpress.com/2013/06/book_info.jpg

20140225-043207.jpg

Judul: Larasati

Penulis: Pramoedya Ananta Toer

Penerbit: Hasta Mitra

Terbit: Juli 2000, cetakan kedua

Tebal: 178 halaman

Kategori: Novel Fiksi

Genre: Historical Fiction, Classics, Sastra Indonesia
Beli di: pinjam punya almarhum mertua
Harga: Rp. 23,000

Kalimat pembuka:
Setelah mendapat tempat di pojok, kapten itu mendekatkan bibirnya pada kupingnya, berbisik perlahan penuh perasaan “Aku memang banyak bersalah, Ara,” ia tak begitu yakin akan suaranya.

book_blurb

LARASATI – sebuah roman revolusi semasa perjuangan bersenjata 1945-1950. Kisah tentang pemuda-pemuda Indonesia yang rela membaktikan jiwa raga demi proklamasi kemerdekaan, kisah-kisah tentang para pahlawan sejati dan pahlawan munafik, pertarungan di daerah republik dan daerah pendudukan Belanda – antara yang setia dan yang menyeberang, antara uang ORI dan uang Nica, dengan wanita sebagai tokoh utama – bintang film tenar yang dengan caranya sendiri memberikan diri dan segalanya untuk kemenangan revolusi. Potret revolusi semasa yang menghidupkan kembali sepenggal sejarah di tahun-tahun awal proklamasi kemerdekaan, sebuah potret jujur gaya Pramoedya tentang kebesaran dan kekerdilan, kekuatan dan kelemahan revolusi. Sebuah fiksi yang menghanyutkan kita seakan menghayati kembali suatu dokumentasi non fiksi Indonesia semasa romantika pertempuran berkecamuk di “jaman bersiap!”

thoughts

Lega banget bisa menyelesaikan Larasati dalam dua hari. Saya pikir saya nggak bakal sanggup menyelesaikan novel ini.

Larasati merupakan buku karya Pram kedua yang saya baca. Sebelumnya, saya pernah membaca Dongeng Calon Arang yang saya baca waktu kuliah dalqm bahasa Inggris. Jadi, saya cukup terkejut dengan gaya bahasa Pram.

Larasati bercerita tentang perempuan bernama Larasati (dipanggil Ara), seorang bintang panggung yang kemudian menjadi bintang film ternama, yang harus pergi meninggalkan Yogya ke Jakarta dengan kereta. Saat itu paska kemerdekaan, di mana kondisi politik tak menentu karena Belanda yang ditunggangi sekutu datang kembali ke Indonesia, menduduki beberapa tempat, dan melakukan agresi militer melawan tentara pemuda independen.

Ara yang terbiasa lari dari satu pelukan pria ke pelukan pria lain akhirnya sampai ke Jakarta, bertemu dengan pejabat inlander, kolonel Belanda, dan kenalannya, Mardjohan, yang sudah naik pangkat menjadi sutradara. Ara diminta untuk membintangi film dokumenter tentang pengungsian. Tak sudi menjadi anjing Belanda, Ara kabur ke rumah ibunya, Lasmidjah, yang bekerja sebagai babu di rumah orang Arab. Sersan supir NICA yang membantu Ara melarikan diri.

Ara bertemu dengan pemimpin pemuda di kampung itu. Bersama-sama mereka melakukan penyerangan terhadap pasukan NICA yang suka membunuhi pemuda Republik.

Saya sempat kebosanan membaca buku ini, terutama di bagian awal. Saya juga masih meraba gaya bahasa Pram. Terus terang, saya jarang membaca sastra, apalagi sastra jadul. Ternyata saya dibuat puyeng dengan tat bahasa jadul yang seenaknya. Dalam satu kalimat/paragraf, sah-sah saja memuat 2 POV yang berbeda tanpa adanya tanda baca berarti. Seperti ini misalnya:

Tapi ia berjanji dalam hatinya, tidak bakal aku main untuk propaganda Belanda, untuk maksud-maksud yang memusuhi Revolusi. (hal. 2)

Kini mendadak saja ia merasa lapar. Aku mesti berbuat apa sekarang? Di rumah ini tidak ada makanan. Tidak ada orang selain aku. Ia turun dari ambin ke luar, di beranda duduk nenek yang kemarin. (hal. 112)

Syukurlah, seiring perkembangan zaman, EYD juga semakin disempurnakan. Kalau sampai hari ini aturan penulisan boleh seperti itu, saya mungkin akan jambak-jambak rambut orang yang ada di sebelah saya setiap kali baca buku.

Dalam buku ini juga terlihat jelas Pram sangat benci dengan pemerintah boneka. Beliau menuliskan, orang-orang yang berpura-pura revolusioner terlihat seperti banteng dungkul. Perundingan-perundingan di Belanda semakin menunjukkan kelembekan mereka.

Saya kurang paham politik dan tidak terlalu mengerti politik. Namun, buku ini membuka pandangan saya tentang masa-masa paska kemerdekaan, di mana rakyat semakin menderita dan miskin. Dari dulu hingga kini, banyak pejabat yang mencuri dari rakyat sehingga keadilan tidak dapat ditegakkan.

Buku ini lebih cocok dibaca menjelang hari kemerdekaan di bulan Agustus karena bisa membangkitkan rasa kebangsaan. Tapi, dari sisi emosi, saya tidak tergerak atau bersimpati pada Ara walau ia ikut berjuang dengan laskar pemuda. Hubungan Ara dengan prianya, pemimpin laskar pemuda, atau ibunya tidak membuat saya tersentuh. Seperti kurang greget, entahlah. Mungkin buku lain Pram bisa menggugah emosi.

Saya penasaran dengan tetralogi Buru. Moga-moga masih mudah untuk dicari.

quotes

Barangsiapa kurang dendamnya akan lebih takutnya. (hal. 112)

Setiap pejuang harus selalu bersedia untuk kalah. (hal. 152)

20140225-050101.jpg

Until next time

20131128-083529.jpg

[Book Review] Pasung Jiwa by Okky Madasari

book_infore_news_picture_50Judul: Pasung Jiwa
Penulis: Okky Madasari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Mei 2013
Tebal: 328 halaman
ISBN: 978-979-22-9669-3
Kategori: Novel Fiksi
Genre: Sastra Indonesia, Sosial Budaya
Beli di: Mbak Maria
Harga: Rp. 41,250
Kalimat pembuka:

Seluruh hidupku adalah perangkap.

book_blurb

Apakah kehendak bebas benar-benar ada?
Apakah manusia bebas benar-benar ada?

Okky Madasari mengemukakan pertanyaan-pertanyaan besar dari manusia dan kemanusiaan dalam novel ini.

Melalui dua tokoh utama, Sasana dan Jaka Wani, dihadirkan pergulatan manusia dalam mencari kebebasan dan melepaskan diri dari segala kungkungan. Mulai dari kungkungan tubuh dan pikiran, kungkungan tradisi dan keluarga, kungkungan norma dan agama, hingga dominasi ekonomi dan belenggu kekuasaan.

thoughts

Senang rasanya bisa selesai membaca novel yang menjadi salah satu finalis Khatulistiwa Literary Awards 2013. Novel ini juga diusulkan Indah link ada di sini

Terus terang saya agak kebingungan mau menulis apa, saking bagusnya buku ini. Banyak isu yang diangkat dalam Pasung Jiwa, diantaranya LGBT, hubungan anak dengan orangtua, bullying, perlakuan anggota militer zaman Orba, premanisme berkedok agama, juga persahabatan.

Sasana, anak dari ayah yang berprofesi sebagai pengacara, dan ibu yang bekerja sebagai dokter bedah, memiliki kehidupan yang membuat orang iri. Ia bersekolah di sekolah ternama, mendapat pendidikan non-formal di bidang musik (Sasana mahir bermain piano sejak usia dini), dan fasilitas mewah lainnya. Namun, semua itu tidak membuat hidupnya bahagia. Ia merasa terkurung dan kebebasannya terkubur.
Suatu hari, ia mendengar keramaian di dekat rumahnya. Rupanya ada pertunjukan dangdut yang ramai dikunjungi oleh orang kampung. Sasana terpana. Ia tersedot dalam ekstase musik dan goyang dangdut. Sejak saat itu, Sasana merasa dangdut adalah bagian dari kepribadiannya.

Ketika orangtua Sasana memergokinya sedang asyik berjoget dangdut di tengah penonton, ia disuruh pulang dan diinterogasi. Musik dangdut resmi di-banned di rumah itu. Sasana harus menahan diri untuk tunduk dengan peraturan orangtua dan belajar sebaik-baiknya agar menyenangkan ayah ibunya.

Hiburan Sasana adalah adiknya, Melati, yang cantik dan lucu. Diam-diam Sasana merasa iri dengan adiknya yang berpenampilan cantik dengan baju-baju berwarna-warni menarik.

Di sekolah barunya yang homogen, Sasana menjadi dipukuli oleh gank anak-anak pejabat. Ia dianiaya secara fisik dan dimintai uang sebagai biaya member gank. Ternyata, anak-anak kelas satu lainnya juga mendapat perlakuan serupa.
Ketika Sasana mendapat luka parah karena dikeroyok gank tersebut, ibunya murka dan meminta ayah Sasana untuk membawa kasus ini ke ranah hukum. Tak berdaya karena masalah kekuasaan, Sasana pindah ke sekolah heterogen di mana ia bisa bergaul dengan lebih aman dan nyaman.

Menginjak bangku kuliah, Sasana pindah ke Malang. Di sana ia tidak menyelesaikan pendidikannya. Ia memilih DO dan bergabung bersama Cak Jek, orang yang ia kenal di warung Cak Man, dan kemudian mereka membentuk duo dangdut dan ngamen ke mana-mana. Sasana memilih dipanggil Sasa karena ia mengubah penampilannya menjadi feminin. Ia juga bertemu dua anak kecil yang menjadi bagian dari grupnya.

Berbagai peristiwa terjadi membawa duka dan trauma. Untuk mencari arti kebebasan, Sasa dan Cak Jek harus menempuh perjalanan berliku dan menyakitkan.

Pasung Jiwa adalah novel pertama karya Okky Madasari yang saya baca dan saya langsung terpikat. Plotnya mengalir lancar, menggunakan POV pertama dari sudut pandang Sasana/Sasa dan Jaka Wani (Cak Jek). Tidak ada kata-kata indah dalam novel ini, tapi menohok dan membuat saya merenung tentang banyak hal, terutama kebebasan yang menjadi tema utama novel ini. Seperti kata pepatah, Freedom is an illusion, kebebasan sejati mungkin tidak akan pernah terjadi karena kita hidup di dunia ini, dalam tatanan sosial yang terbentuk dari berbagai peraturan, mulai dari aturan orangtua, agama, sekolah, juga pemerintah. Yang melanggar peraturan atau menolak untuk tunduk dianggap mengancam stabilitas tatanan tersebut, bahkan dianggap tidak waras.

Saya sempat menitikkan airmata di beberapa bagian, terutama waktu Sasana di-bully dan tidak mendapat keadilan, sewaktu ibunya memilih untuk tinggal bersamanya, juga sewaktu ia disiksa dan dilecehkan di markas koramil.

Tokoh Jaka Wani juga digambarkan sebagai provokator, ahli persuasi. Dari seorang pengamen, buruh pabrik, nelayan hingga ketua Laskar Malang, Jaka juga mencari arti hidupnya sendiri, merasa terpenjara karena keadaan.

Masih ditemukan beberapa typo, namun tidak mengurangi esensi cerita.

Pasung Jiwa mengambil setting waktu pra dan paska kejatuhan Suharto, menggambarkan kekuasaan militer dan pejabat yang berlaku sewenang-wenang.

Saya tak sabar ingin membaca karya Okky Madasari yang lain.

Reight Book Club General Discussions:
1. First impression
Cover Pasung Jiwa sangat mewakili temanya, yaitu kebebasan individu yang terkungkung.

2. How did you experience the book?
Tidak perlu waktu lama untuk menyelami karakternya. Saya langsung terhanyut di beberapa halaman pertama.

3. Characters
Sasana berubah menjadi Sasa dan Cak Jek juga mengubah namanya yang tadinya Jaka Wani menjadi Jaka Baru karena mereka bertumbuh.

4. Plot
Plotnya mengalir lancar dengan alur maju.

5. POV
Dari sudut pandang pertama, dinarasikan oleh Sasana/Sasa dan Jaka Wani.

6. Main Idea/Theme
Tentang kebebasan individu.

7. Quotes
Pagi adalah awal kehidupan. (hal. 103)

8. Ending
Cukup memuaskan untuk saya.

9. Questions
Stay tuned di blog ini besok ya, ada wawancara dengan penulisnya 🙂

10. Benefits
Pasung Jiwa membuat saya merenungkan banyak hal, tentang kebebasan individu yang sebenarnya juga penghakiman berdasarkan kebenaran kolektif.

 

20131125-062111.jpg

Until next time ^^

20131128-083529.jpg

[Book Review] Lampau by Sandi Firly @Gagasmedia

book_info

20131130-053523.jpg

Judul: Lampau
Penulis: Sandi Firly
Penerbit: Gagasmedia
Terbit: April 2013
Tebal: 346 halaman
ISBN: 978-979-780-620-0
Kategori: Novel Fiksi
Genre: Sastra Indonesia
Dapat dari: penerbit dalam event #GagasDebut
Kalimat pertama:
Aku terlahir dari seorang Uli Idang, Balian Tuha, dukun yang namanya membuat gentar segenap hantu di hutan larangan Meratus – semua ilmu kesaktian merapat ke dirinya meminta untuk dipinang.

book_blurb

Aku mengingatmu, gadis berkepang dua. Di jalan menyusuri masa kecil. Senyum manis, cinta pertamaku. Mengingatmu adalah perjalanan panjang kembali ke buku-buku bergaris masa sekolah dasar, pensil warna, dan mimpi-mimpi beralur manis.

Gadis berkepang dua dengan senyum semenarik krayon warna, kau juga mengingatkanku pada takdir. Takdir yang lekat akan gemerincing denting gelang hiyang perunggu dalam iringan tetabuhan gendang, dan senandung mantra-mantra yang dengan sendirinya dapat kubaca.

Hingga bayangmu kutinggalkan dalam frame tua. Aku menemui gadis lain berwajah teduh. Gadis yang tak mengingatkanku pada takdir yang menunggu. Gadis yang membuatku tahu bahwa hidup bukan sekadar menjalani takdir yang kita tahu.

Namun, gadis berkepang dua, jalanku memutar, entah mengapa seolah ujungnya ingin menemukanmu. Senandung mantra siapa yang akan aku jelmakan, kali ini?

thoughts

Ayuh adalah anak Uli Idang, dukun Dayak Meratus. Menjadi anak Balian memiliki banyak keistimewaan. Juga, Ayuh diharapkan bisa mewarisi ilmu ibunya, menjadi Balian di kemudian hari.

Suatu hari, sepucuk surat dengan cap darah mendarat di tangan Ayuh yang berada di Jakarta. Surat itu dari ibunya yang sakit keras dan meminta Ayuh untuk pulang. Ayuh dipercaya sebagai satu-satunya penyembuh, sesuatu yang diragukannya sendiri.

Ayuh kembali ke kampung halamannya, Desa Malaris. Dan Ayuh berflashback ke masa kecilnya. Ia kerap diolok-olok teman sekelasnya karena lemah dalam pelajaran eksakta. Ia lebih pandai bercerita. Sebelum ayahnya pergi meninggalkan keluarganya, ia suka membawa banyak buku cerita. Selain diwariskan oleh ayahnya, kesukaan Ayuh membaca juga karena pamannya, Amang Dulalin, yang suka bermalas-malasan di kamarnya sambil membaca.

Suatu hari, seorang bulr Amerika bernama Anna dan kawannya mengadakan penelitiN tentang kehidupan suku Dayak. Ia tinggal di rumah ibu Ayuh. Warga desa gempar dengan kedatangan Anna yang berkulit putih dan berambut jagung. Ayuh teringat dengan poster perempuan bule seksi yang dipajang Amang di kamarnya. Ia langsung mengajak Amang untuk datang ke rumahnya, karena idolanya datang.

Ada pertemuan, ada juga perpisahan. Tiba saatnya Anna harus kembali ke negaranya. Bersama Abdi, temannya, ia pamit pada warga Desa Malaris. Amang sibuk menulis surat cinta untuk Anna. Tak disangka, Ayuh mendapat kecupan di pipi sebagai tanda perpisahan dari Anna, diiringi sorak sorai warga desa. Amang tidak mencuci mukanya selama seminggu.

Ayuh risau karena ia ingin melanjutkan sekolah. Ia ingat, di sekolah, guru agama Islam berkata, pondok pesantren tidak memungut biaya untuk murid yang kurang mampu. Ibu Ayuh tak sanggup menyekolahkan Ayuh ke SMP karena masalah biaya. Ayuh mengajukan ide tersebut. Ibu Ayuh kaget, karena mereka menganut agama Kaharingan, agama adat. Dengan berat hati, Uli Idang melepas kepergian Ayuh untuk menuntut ilmu di pesantren yang berlokasi di Banjarbaru. Ayuh juga harus berpisah dengan teman-temannya: Septa, Tuma, Evi, Warna, dan Ranti. Ayuh menyukai Ranti yang cantik. Ia murid pindahan dari Jakarta.

Dan Ayuh berangkat ke ibukota, mengadu nasib. Namun masa lalu membawanya kembali ke kampung.

Ceritanya menarik dan banyak penjelasan tentang adat Dayak Malaris, namun di beberapa bagian terasa membosankan.

Secara keseluruhan, novel ini cukup asyik untuk disimak.

quotes

Setiap anak harus mengetahui nama yang disandangnya, apakah itu pemberian orangtuanya atau siapa pun. (hal. 7)

20131119-085715.jpg

Until next time

20130330-114856.jpg

[Book Review] Horeluya by Arswendo Atmowiloto @Gramedia

book_info

20130816-020039.jpg

Judul Buku: Horeluya
Penulis: Arswendo Atmowiloto
Penerbit: GPU
Terbit: April 2008
Jumlah Halaman: 240
ISBN: 978-979-22-3645-3
Kategori: Novel Fiksi
Genre: Sastra Indonesia
Harga: Rp. 15,000
Beli di: Gramedia WTC Serpong
Kalimat pertama:

Pagi ini tak berbeda dengan pagi sebelumnya. Tapi bisa berbeda dengan pagi sesudahnya.

book_blurb

“Tuhan Yesus… sakit… sakit sekali…”

Suara Lin, gadis kecil, seperti menggigil. Pengambilan cairan disumsum tulang belakang, memang tak tertahankan. Itu yang harus dijalani, dan bukan hanya satu kali. Eca, Ibunya yang membawanya dalam doa di gereja tua, dimana ada Patung Bunda Maria, malah diberitakan memuja berhala. Doa rutin tak mempunya getar dalam batin. “Kita sudah berdoa beberapa kali, Tuhan Yesus pastilah sudah mendengar.” Dan belum juga ada jalan keluar, belum ada pemberi donor darah rhesus negatif. Kokro, ayah Lin, masih ingin mempunyai kepercayaan seperti istrinya, namun merasa kering dan gelap. Ia dan adiknya pernah mengalami kepedihan yang mematikan, tapi kini merasa gamang.

Segala upaya kemanusiaan, juga segala doa, berlomba dengan usia Lin yang diramalkan secara medis hanya bertahan beberapa bulan. Keinginan Lin terakhir adalah bisa merayakan natal-sebelum waktunya, karena usianya tak mencapai bulan Desember-dengan turunnya salju. Sesuatu yang sama mustahilnya, karena di desa itu yang turun adalah hujan, dan tak ada gua atau pesta.

Apakah salah Lin menghendaki ada salju, karena itu kisah yang didengar selama ini? Apakah lebih menyakitkan ketika ada pendonor yang disaat menentukan juga memerlukan donor? Apakah jawaban mauuu Lin berarti ketulusan, juga kepasrahan, bentuk lain doa?

Berbagai pertanyaan, tak perlu jawaban pasti, ketika hati masih bisa bernyanyi bersama rumput, bersama bunga, karena Tuhan sumber “gembiraku”. Ketika itulah teriakan hore menjadi pujian, juga kegembiraan.

thoughts

Buku ini sudah lama ngendon di rak, namun baru sempat dibaca kemarin-kemarin sekalian mengikuti event Baca Bareng BBI.

Horeluya mengisahkan sepasang suami istri Kokro dan Eca yang saling kenal sewaktu kuliah. Kokro yang pada awalnya memiliki usaha pembuatan spanduk, mendapat tawaran untuk bekerja di pabrik biskuit.
Kokro dan Eca memiliki seorang putri bernama Lilin yang cerdas dan menyenangkan semua orang. Namun, Lilin sulit sekali makan dan hanya mau meminum susu (reminds me of AJ, actually). Berat badannya sulit naik, malah cepat turun. Setelah diperiksa, Lilin menderita kelainan darah. Dokter menyarankan Lilin untuk diperiksa di Jakarta. Ternyata Lilin menderita anemia rhesus negaitif dan harus melakukan serangkaian tes yang membuat Lilin kesakitan. Saat Lilin bercerita pada bukliknya, gue sampai berkaca-kaca. Betapa Lilin dalam kesakitannya masih menyebut nama Tuhannya.
Rumah sakit menyarankan agar Lilin dibawa ke Australia atau Belanda untuk berobat. Namun, dua minggu di sana tidak ada perkembangan yang berarti. Setelah kembali ke Indonesia sambil berharap ada donor untuk Lilin, Kokro dipecat dari perusahaannya. Kokro dan beberapa rekannya diminta untuk mengundurkan diri karena pabrik sedang kolaps. Kokro sudah mengabdi selama 4 tahun, dan ia bekerja dengan tekun tanpa mengenal lelah.
Lalu, drama bergulir kepada Ade dan Siti. Siti adalah rekan kerja Kokro yang sama-sama bekerja di pabrik. Dulunya, Siti adalah bekas anak didik Eca.
Ade dan Siti memutuskan untuk memghabiskan malam dengan berjalan-jalan ke mal, mengisap rokok, dan meminum minuman keras di cafe. Mereka juga mencoba ‘kencan’ dengan pria hidung belang. Siti merasa dirinya adalah lesbian, karena ia tidak pernah tertarik pada pria. Walau Naya (adik Kokro) pernah mencium paksa dirinya, Siti tidak merasakan apa-apa.

Lalu, keadaan Lilin mulai membaik. Ia minta diantar ke sekolah. Eca tak mampu mencegahnya. Seluruh keluarga ketakutan kalau Lilin susah ‘dekat’ dengan waktunya.

Berita mengejutkan datang dari Adam, wartawan surat kabar yang pernah meledek Eca dengan memuat fotonya yang sedang berdoa sambil menangis di depan patung Bunda Maria. Ternyata, ada donatur bernama Devi Efendi yang bersedia memberikan darahnya untuk Lilin.

Horeluya adalah drama tentang keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Ada ketakutan, kecemasan, kepasrahan, juga pengharapan yang menjadi bumbu dalam novel ini. Banyak adegan mengharukan, terutama tentang Lilin yang begitu tulus walau sedang dalam keadaan sakit. Gue percaya, anak adalah malaikat :’) dan itu juga yang mungkin merupakan pesan dari Arswendo. Novel ini juga menyindir perilaku orang dewasa yang seringkali egois dan hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, juga memperkaya diri sendiri. Sementara, seorang anak kecil yang sakit keras masih memikirkan orang lain dan bersedia membantu. Such a heartwrenching turned heartwarming story.

quotes

“Kenapa kamu tak berdoa untuk kamu sendiri?”
“Sudah, Mbak. Saya tahu doa saya untuk diri sendiri kurang manjur. Doa saya lebih manjur ketika mendoakan orang lain.” (hal. 28)

“Kalau rasa sakit kamu bisa dibagi dua, saya mau.” (hal. 31)

Apakah di zaman yang sudah sangat modern ini masih perlu menyembah patung atau berhala? Apakah patung itu akan memberikan jawaban, ataukah ikut menangis darah tanda prihatin? (hal. 48)

Hujan juga diturunkan untuk lesbi, homo, atau yang lainnya. Tidak pilih-pilih. (hal. 75)

Ketika ditanya kenapa tidak ikut pelajaran agama Katolik dan dibaptis, jawaban yang terdengar juga seenaknya. “Saya tidak mendengar atau membaca Tuhan Yesus membaptis.” (hal. 76)

“Lilin sakit ya sakit saja, tak ada hubungannya dengan pencobaan Tuhan. Kalau kamu masih menganggap begitu, kamu sama primitifnya dengan yang menganggap orang lumpuh, orang kusta, orang perdarahan, orang buta karena kutukan. (hal. 77)

“Kalau takut salah, jangan hidup saja.” (hal. 218)

20130725-125152.jpg

Need a second opinion?

My Book Corner here

Dunia Buku here

Submitted for:

New Authors Reading Challenge here

Baca Bareng BBI Tema Sastra Indonesia here

Until next time:)

20130330-114856.jpg