Blog Archives

Meet the Author: Okky Madasari – Pasung Jiwa

meet_the_authokkym

Setelah membaca dan meresensi novel Pasung Jiwa disini dan seperti janji saya kemarin, kali ini Lust and Coffee berhasil mewawancarai penulisnya, Okky Madasari.
Okky adalah seorang jurnalis dan penulis yag sudah menelurkan beberapa karya, antara lain: 86, Entrok yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul The Years of the Voiceless, Maryam yang memenangkan Khatulistuwa Literary Awards 2012, dan yang terbaru, Pasung Jiwa. Karya-karya Okky mengusung tema kemanusiaan dan hak asasi, juga kebebasan individu.

Berikut petikan wawancara singkat Lust and Coffee dengan Okky Madasari:

Kapan mulai suka menulis?

Lulus dari kuliah, saya memutuskan untuk menjalani profesi sebagai jurnalis. Keinginan ini sudah memendam sejak lama,dan sejak itu saya mulai suka menulis. Bedanya, kalau sebagai jurnalis, kita nulis fakta, saat menulis novel saya bebas mengembangkan imajinasi. Namun tetap dalam koridor yang saya jaga, supaya bisa membuat pembaca merasakan apa yang ingin saya tulis.

Darimana Mbak Okky mendapat ide untuk menulis novel Pasung Jiwa?

Gagasan untuk setiap novel, berasal dari apa yang ada di sekitar. Saya hanya menuangkan apa yang saya lihat dan kemudian saya dalami setiap karakternya. Untuk Pasung Jiwa, itu lebih pada kebebasan individu, lebih personal bagaimana seseorang menghadapi masalah yang timbul di masyarakat, dengan periode cerita sebelum dan sesudah reformasi.

Berapa lama proses penulisan Pasung Jiwa, mulai riset hingga selesai? Punya waktu khusus untuk menulis?

Pasung Jiwa ditulis kurang lebih satu tahun. Saya tidak punya waktu khusus, tapi diatur antara siang sampai malam hari. Pokoknya tidak sampai begadang, seperti apa yang dibayangkan banyak orang pada para penulis, sesekali saya juga selingi olahraga. Kadang, saya juga tidak punya rancangan atau outline, yang penting ada ide atau gagasan besar. Berhenti ketika kisah itu sudah dirasa cukup.

Karakter dalam novel Pasung Jiwa terasa nyata, saya seperti tidak membaca novel namun menyaksikan tokoh-tokoh berbicara di depan mata. Bagaimana cara Mbak Okky menciptakan karakter-karakter tersebut? Apakah ada riset khusus atau ada tokoh nyata seperti Sasana atau Cak Jek yang Mbak Okky kenal?

Banyak membaca. Saya terinspirasi dari novel-novel yang saya baca. Untuk membuat karakter lebih hidup saya membuatnya berkembang seperti apa adanya. Perlu usaha untuk masuk dalam setiap karakter yang berbeda, namun sekali karakter itu punya nyawa, ia akan berkembang dengan sendirinya. Dan, saya juga mendapat gambaran dari setiap orang yang ada di sekitar, yang saya amati.

Pasung Jiwa memuat berbagai isu, seperti LGBT, bullying, dan hubungan anak dengan orangtua. Apa yang hendak Mbak Okky sampaikan melalui novel ini?

Kebebasan individu. Setiap orang punya ketakutan masing-masing. Apakah kita sudah terbebas atau masih terpasung? Nah, itu kembali pada diri masing-masing bukan? Tema itu kemudian saya kembangkan lewat empat tokoh; ada yang merasa terpasung karena aturan yang dibuat orangtua, norma di masyarakat, atau agama. Bagaimana setiap kita menghadapi ini, begitulah Pasung Jiwa.

Ada pesan untuk pembaca novel Pasung Jiwa?

Semoga lebih peka dan tidak mudah menghakimi orang lain. Lebih meghargai setiap individu dan pilihan yang mereka jalani.

Terima kasih banyak untuk waktunya. Saya nantikan karya Mbak Okky selanjutnya.

More articles on Pasung Jiwa:
here, there, and everywhere.

Temui Okky Madasari di:
BlogTwitterFacebookGoodreads

Until next time ^^

20131128-083529.jpg

Meet the Author: Lia Indra Andriana @penerbitharu

lia-author copy

Haloooo,

Selamat hari Senin. Ketemu lagi di segmen Meet the Author. Kali ini Lust and Coffee berkesempatan untuk ngobrol-ngobrol dengan penulis Good Memories yang bukunya baru saja dirilis. Good Memories ini bercerita tentang Maya yang harus menempuh pendidikan di Korea, sementara pacarnya, Alva, kuliah di Jakarta. Untuk review lengkapnya bisa dibaca di sini.

Apa saja yang Lia akan share seputar pembuatan novel Good Memories? Simak aja wawancara berikut ini 🙂

18589068

Bisa diceritakan dari mana dapat ide untuk novel Good Memories?

Saya sempat mengikuti kelas bahasa Korea di Seoul selama tiga bulan. Selama tiga bulan tersebut, banyak sekali pengalaman yang saya alami bersama teman (pengalaman ini juga ada di dalam buku non fiksi berjudul (Not) Alone in Otherland yang saya tulis bersama 2 penulis lain: Fei dan Andry Setiawan… sekalian promo yah hehe).

Ide awal saya dapatkan dari mengamati teman-teman sekelas. Ada dua teman saya yang cukup menarik perhatian: seorang cewek yang tinggal kelas dan seorang cowok yang ditawari naik ke tingkatan kelas berikutnya tapi menolak. Itulah awal mula idenya.

 

Apa saja yang Lia lakukan sewaktu melakukan riset?

Sebagian besar kegiatan yang tertuang di Good Memories memang saya alami: makan malam bersama, tentang kerja part time, piknik, dll… jadi risetnya nggak terlalu susah. Namun saya cukup harus kerja keras untuk mencari tahu tentang sifat pemuda Prancis dan latar belakang kebudayaannya. Saya banyak membaca artikel dan blog tentang orang Prancis, juga apa-apa saja yang mereka lakukan di waktu senggang dan pemikiran mereka akan orang Asia. Saya juga menonton beberapa video orang Prancis supaya bisa membayangkan gesture Luc.

 

Berapa lama proses penulisan novel ini?

Sekitar 2 bulan + revisi 1 bulan

 

Ide untuk merekam kenangan dengan kamera polaroid itu unik banget. Kok bisa kepikiran untuk memasukkan ide ini?

Saya harus berterima kasih pada salah satu teman sekelas saya untuk ini. Teman ini senang sekali membawa kamera polaroid ke kelas. Apalagi di Korea penjual kamera polaroid banyak banget. Saya sempat pengin banget beli, tapi akhirnya batal karena biasanya saya suka angin-anginan… kalau sudah beli belum tentu dipake.

 

Jika novel Good Memories difilmkan, siapa yang cocok untuk memerankan:

Maya: Gita Gutawa. Sejak awal nulis, yang ada di kepala saya adalah penyanyi ini

Alva: Derby Romero atau Rezky Aditya (aaaargh sebenernya saya agak kurang update sama seleb Indo hoho)

Luc: Cody Christian (pemain Mike Montgomery di Pretty Little Liars)

Yujin: Park Gyuri-Kara

Ahn sonsaengnim: Kim Nam Ju

 

Ada pengalaman menarik selama proses penulisan novel ini?

Hm… apa yaaah. Saya cuma inget saya ganti Bab 1 sampai 3x gara-gara merasa nggak oke (meski akhirnya kembali ke tulisan pertama) dan rombak alur beberapa kali.

 

Bisa share playlist yang Lia dengarkan ketika menggarap novel ini?

Sebenarnya, saya justru kurang bisa menulis jika mendengarkan musik. Meski bisa, tapi saya akan lebih cepat menulis dalam keadaan benar-benar hening.

 

Bagaimana cara Lia membentuk karakter dalam Good Memories? Apakah semuanya fiktif atau berdasarkan karakter orang yang benar-benar ada?

Karakter Maya dan Alva benar-benar fiktif. Kalau ada orang seperti Maya atau Alva saya pasti bisa gregetan sendiri. Kalau Luc… alasan saya membuat karakter Prancis karena (lagi-lagi) dari teman di kelas bahasa Korea. Saya menggabungkan karakter dari 2 orang Prancis yang saya kenal: outgoing dan banyak teman, pinter ngomong (atau nggombal :P) dan nggak malu kalau pakai kosmetik.

 

Apa proyek novel selanjutnya yang akan Lia kerjakan?

Saat ini sedang mengerjakan Oppa&I 3 bersama Orizuka. Dijadwalkan akhir tahun ini terbit.

 

Ada tips singkat untuk penulis yang ingin mengirim naskahnya ke Penerbit Haru? Apa saja yang harus diperhatikan?

Langkah awal adalah memperhatikan ketentuan yang sudah ada di website penerbit, lalu sesuaikan genre dengan yang sudah Haru terbitkan selama ini.

 

Terima kasih banyak Lia, untuk wawancaranya yang menyenangkan.

Masih ada waktu untuk yang ingin ikutan giveaway berhadiah novel Good Memories bertanda tangan Lia. Bisa di check di sini.

Good luck ^^

20130923-121453.jpg

#STPC Interview: Meet the Author Robin Wijaya @Gagasmedia

20130819-105102.jpg

robin copy

Akhirnya sampai juga kita di penghujung program #STPC di blog ini. Karena ada hal yang harus eykeh kerjakan dan tidak bisa ditunda, jadilah postingan ini agak terlambat. Maafken ya.

Kali ini, Lust and Coffee berhasil mewawancarai Robin Wjaya, penulis novel Roma: Con Amore. Seperti apa sih proses pembuatan novel Roma? Simak aja wawancara berikut ya 🙂

 

 

1. Mengapa memilih Roma sebagai setting novelnya?

Sebetulnya, waktu pertama kali ditawari ikutan STPC, ada 3 kota yang masih tersisa di list: London, Paris dan Roma. Waktu milih 1 di antara 3 kota itu lebih kayak cap-cip-cup sih. Spontan aja bilang ke editor ‘Roma’, lalu dijawab ‘pilihan yang tepat sekali’ (eh, berasa lagi pesan pizza ya). Tapi rasanya pilihan tersebut memang tepat. Saya menyukai Roma: kesenian, sejarah, makanan dan liga Italianya.

 

2. Apa kesan pertama Robin ketika diminta untuk menulis novel dengan setting Roma?

Excited! Saking excited-nya, satu hari pertama yang harusnya dipakai untuk nulis sinopsis malah cuma diisi bengong-bengong karena bingung mau nulis apa. Hehehehehe.

 

3. Satu kata yang bisa mendeskripsikan Roma:

Hangat

 

4. Berapa lama proses menulis novel ini?

3 bulan. Nggak dalam sepanjang waktu itu nulis terus ya, kadang-kadang diisi bengong dan ngopi-ngopi. Proses nulis paling maksimal di 1 bulan terakhir.

 

5. Apakah ada pengalaman menarik selama proses penulisan Roma?

Ada. Pertama riset. Baru kali ini nulis novel bersetting luar negeri. Dan karena saya orangnya melankolis, kalau nyari satu lokasi yang akan dijadikan setting saya mesti tahu sedetail-detailnya seperti: rute transportasi ke sana dan berapa lama, nama gang-gang kecil di sekitar tempat itu, ada toko apa aja, bagaimana suasananya, jalanannya berbatu atau aspal, bagaimana cuacanya, dll.

Kedua adalah pengalaman sejarah. Menjelajah Roma berarti menjelajah peninggalan budaya masa lalu. Saya menyukai cerita-cerita epic dan kesenian, sisa-sisa kejayaan emporium Romawi yang masih berdiri sampai sekarang, dan cerita tentang Michelangelo sendiri merupakan pengalaman menjelajah masa lalu yang menyenangkan selama menulis novel Roma ini.

 

6. Jika novel Roma difilmkan, siapa yang cocok untuk memerankan:

Agak susah ya, karena bicara tokoh dan karakter seperti bicara manusia sebenarnya. Tapi waktu menulis Roma, saya menggunakan foto-foto aktor dan aktris untuk menggambarkan sosok tersebut. Ini nih foto yang saya pajang di desktop selama nulis Roma. Mirip nggak kira-kira sama bayangan teman-teman?

con amore roma

7. Berapa lama riset yang dibutuhkan sebelum menulis novel ini? Apakah ada narasumber yang membantu?

1 bulan untuk riset sendiri. Memang agak lama sih, karena kebanyakan diisi untuk ngumpulin data dari internet, terus dibaca satu-satu.

Ada beberapa teman juga yang membantu. Untuk Michelangelo, Prisca Primasari (penulis Paris) bantuin saya nyari buku tentang maestro tersebut (makasih ya, Pris). Untuk kota Roma nya sendiri blogging aja, nanya-nanya teman blogger yang pernah travelling ke sana. Ada juga info-info yang didapat dari perpustakaan sekolah. Dan bersyukur sekali sekarang ada youtube yang bisa ngasih gambaran real suasana di kota tersebut.

 

8. Bagaimana cara Robin melakukan riset untuk tokoh?

Physically lewat gambar yang tadi di atas. Untuk karakter, begitu melihat orangnya aku langsung membayangkan kalau si A tipe orang yang seperti apa, kebiasaannya apa, bagaimana cara dia berpikir, bertindak, dll.

Mungkin agak lebih susah di profesi tokohnya. Biar bagaimana pun, orang dengan latar belakang profesi yang berbeda punya kebiasaan, tempat hang out, gaya penampilan, lingkungan pergaulan, dan komunitas yang berbeda juga. Dan almost semua yang disebut di novel ini based on real, termasuk komunitas Sanggar Pejeng, seniman jalanan yang disebut-sebut Dewa di kawasan Glodok sampai Kota Tua.

 

9. Adakah tokoh yang mirip dengan kepribadian Robin?

Kalau kepribadiannya yang mirip sih kayaknya nggak, tapi saya dan Leo sama-sama suka melukis. Bedanya, Leo lebih ke lukisan realis, aku suka vignet dan surealis

 

10. Ada pesan untuk penulis baru yang ingin mengirim naskah ke Gagasmedia? Apa saja yang perlu diperhatikan?

Ini udah banyak banget yang nanya di twitter dan facebook ya. Dan kebanyakan tentang pertimbangan-pertimbangan naskah apa yang layak diterima oleh GagasMedia. Menurut saya, kita nggak akan tahu kemampuan kita kalo nggak mencoba. Kalau memang punya naskah, dikirimkan saja. Toh, hasilnya akan ketahuan setelah naskah dikirim. Daripada numpuk di laptop jadi unsent draft.

Semangat mengirimkan naskahmu… biar saya bisa tambah teman penulis yang banyak 😀

 

Terima kasih banyak atas waktunya untuk menjawab 10 pertanyaan dari saya ^^

Sama-sama, terima kasih juga sudah menyediakan ruang untuk berbagi cerita tentang novel Roma

 

It’s a wrap! Terima kasih banyak untuk Gagasmedia, Bukune, para penulis STPC, editor, Bang Ino, juga proofreader. Tidak ketinggalan cover designernya juga yang sudah berpartisipasi dan bersedia saya rempongin selama event STPC ini. Terima kasih juga untuk teman-teman pembaca yang rajin menjambangi blog ini untuk meninggalkan komentar.

Sampai ketemu tanggal 5 Oktober untuk pengumuman pemenangnya.

 

Tschuss,

20130923-121453.jpg

#STPC Interview: Meet the Author Alvi Syahrin @Bukune

20130819-105102.jpg

alvi

Halo, ketemu lagi di segmen Meet the Author. Sepertinya pembaca sudah tahu pattern-nya ya. Setelah mereview bukunya, keesokannya ada wawancara dengan penulisnya.

Setelah kemarin ada postingan review Swiss: Little Snow in Zurich, hari ini Lust and Coffee berkesempatan berbincang dengan penulisnya, Alvi Syahrin. Mau tahu lebih banyak tentang novel Swiss? Check out the interview below.

 

Bisa diceritakan dari mana dapat ide untuk novel Little Snow in Zurich?

Idenya datang begitu saja, tentunya ada pemicu dari saya. Jadi, saya berkata pada diri saya sendiri bahwa saya ingin menulis kisah cinta yang manis antar dua remaja—sederhana, manis, dan getir. Selagi berpikir dan berpikir, muncullah Rakel, kemudian Yasmine, dan akhirnya kisah mereka. Setiap kali hendak menulis novel, saya selalu begini: berkata pada diri saya apa yang ingin saya tulis, and the idea will come just like a butterfly.

 

Kenapa Alvi memutuskan untuk mengambil setting di Swiss?

Waktu itu, saya dihadapkan oleh beberapa pilihan negara. Ketika Mbak Widyawati Oktavia (Editor Bukune) menyebutkan Swiss, saya dengan excited langsung menyetujuinya. Saya suka negara Swiss. Semua orang tahu bahwa Swiss adalah negara yang luar biasa indah, tapi masih jarang penulis Indonesia yang mengambil setting ini. Jadi, inilah kesempatan saya untuk mengajak pembaca ke tempat baru yang mungkin belum pernah mereka kunjungi dari novel-novel lain: Zurich, Swiss.

 

Berapa lama proses penulisan novel ini?

Proses penulisannya sekitar 1,5 bulan. Belum termasuk pematangan outline dan riset.

 

Satu kata yang bisa mendeskripsikan Zurich:

Bersih.

 

Jika novel Little Snow in Zurich difilmkan, siapa yang cocok untuk memerankan: Yasmine, Rakel, Elena dan Dylan?

Saya sama sekali tidak punya ide untuk yang satu ini, hehe. 😀 Pertama, saya jarang sekali nonton film, jadi jarang tahu aktor/aktris. Kedua, saya punya bayangan tersendiri mengenai keempat tokoh tersebut, sebagaimana yang saya ciri-cirikan pada novel.

 

Berapa lama riset untuk novel ini? Apa saja yang dilakukan Alvi ketika riset?

Saya riset sekitar 4 bulan, mungkin. Selagi menulis juga saya tetap riset. Alasan mengapa riset saya selama ini adalah, karena terlalu sering merasa belum siap untuk menulis.

Yang saya lakukan selama riset:

– Googling artikel mengenai Swiss (terutama Zurich), seperti kehidupan kotanya, tempat-tempat yang sering dikunjungi, dst. Seiring banyak membaca artikel tentang Zurich, saya jadi cukup tahu hal-hal tentang Zurich. Tapi, saya tetap belum merasa cukup siap untuk menulis saat itu.

– Melihat foto-foto, tentunya, untuk kenal lebih dalam.

– Interview. Awalnya, saya mengirimkan pesan di Facebook kepada beberapa penduduk Zurich, tapi tak ada satu pun yang membalasnya. Akhirnya, saya menemukan seorang pelajar Indonesia yang pernah studi di Zurich—di Facebook juga. Saya banyak tanya ke dia tentang Zurich. Dia pun memperkenalkan saya pada temannya yang memang dari Zurich. Saya pun bisa interview langsung dengan orang asli Zurich. J

– Lihat di video-video yang menampilkan pemandangan di Zurich di Youtube, sehingga lebih berasa lihat langsung—ini saran dari Mbak Kireina Enno. Dan ini sangat membantu untuk menambah feel Swiss-nya. Saya jadi bisa merasakan dinginnya Swiss, indahnya Zurich, dan enaknya bila tinggal di sana.

– Google Earth. Ini yang paling membantu. Apalagi Google Earth memiliki fitur 3D pada bangunan-bangunannya, juga foto-foto yang tersebar pada lokasi ybs. Dari sini, saya mengenal Zurich lebih detil, tahu nama jalan-jalan, bentuk bangunan, rute untuk ke sana-sini, dan lain sebagainya. Bahkan dermaga yang menjadi tempat favorit Rakel dan Yasmine saya temukan ketika lagi “berpetualang” di Zurich lewat Google Earth. Tempat itu sedikit tersembunyi, meski dekat pusat kota, tapi benar-benar sangat indah. Jadi, saya memasukkannya sebagai lokasi utama.

Saya benar-benar mengenal Zurich dari sini. Oya, suatu ketika, saya pernah lihat tv sekilas. Acara tersebut menampilkan sebuah sudut  kotanya, dan saya tebak itu Zurich, dan ternyata benar. 😀 Setelah itulah, saya mulai berani menulis. Sembari menulis pun tetap riset supaya bisa merasa benar-benar di sana.

 

Ada pengalaman menarik selama proses penulisan novel ini?

Banyak sekali. Mulai dari ketika diajak Bukune untuk ikutan STPC, lalu eksplor ide, riset, kemudian masa-masa stres ketika mematangkan outline novel, masa-masa nggak pede sama naskah sendiri, sampai proses penulisan yang menyenangkan, hingga berhasil menuliskan kata ENDE. Setiap bagian dari penulisan novel ini adalah pengalaman menarik. Dan sekarang saya benar-benar rindu sama Zurich, Rakel, Yasmine, dan butir-butiran salju itu.

 

Bisa share playlist yang Alvi dengarkan ketika menggarap novel ini?

Saya lupa—komputer saya terpaksa install ulang sehingga semua playlistnya hilang. Yang jelas, saya malah nggak bisa mendengar lagu ketika sedang menulis. Jadi nggak konsentrasi.

 

Waduh, sayang banget ya. Semoga kompinya sudah betul. Apa proyek novel selanjutnya yang akan Alvi kerjakan?

Novel yang sekarang saya kerjakan lumayan terpengaruh oleh STPC (So, thanks to Bukune yang sudah membantu mengembangkan saya). Tapi, settingnya bukan di luar negeri, melainkan Indonesia. Pada suatu tempat yang cukup terkenal, tapi saya belum pernah membaca novel-novel yang menggunakan setting di tempat ini. Ada unsur petualangannya, keluarga, dan tentu kisah cinta. Tapi, kali ini, saya ingin membahas cinta dari sudut pandang yang berbeda, yang mungkin bisa membuat kita berpikir, “Ah, ya, cinta nggak semudah mengatakan ‘I love you’”. Insya Allah, mudah-mudahan, ini bakalan jadi cerita yang seru dan manis.
Sekarang saya baru sampai di bab 2. Mohon bantu doanya ya supaya bisa segera selesai.

 

Ada tips singkat untuk penulis yang ingin mengirim naskahnya ke Bukune? Apa saja yang harus diperhatikan?

Banyak-banyaklah membaca novel dari Bukune, supaya kamu tahu taste-nya Bukune itu seperti apa. Seringlah berlatih menulis, setiap hari. Ketika hendak mengirimkan naskah ke redaksi Bukune, perhatikan kembali aturan-aturan yang Bukune berikan; seperti jenis dan ukuran font, ukuran kertas, spasi dan margin, banyaknya halaman, formulir pengecekan naskah, dan lain sebagainya. Jangan sampai naskah kerenmu nggak sampai di meja editor, hanya karena melupakan hal-hal sepele itu.

Terima kasih banyak atas waktunya untuk menjawab 10 pertanyaan dari saya ^^

 

Besok masih ada interview kejutan dengan … (nggak surprised dong kalau dikasih tahu sekarang). Masih ada juga review novel STPC  dan wawancara dengan penulisnya. Jangan lupa mampir kemari ya.

 

Tschuss,

20130725-125307.jpg

#STPC Interview: Meet the Proofreader Jia Effendie @Gagasmedia

20130819-105102.jpg

Ketemu lagi di segmen interview bersama salah satu orangdi balik layar novel London: Angel. Maaf banget atas keterlambatan postingannya, karena Lust and Coffee sedang sakit dan meringkuk dengan manis di tempat tidur.

Kali ini, Lust and Coffee berhasil mewawancarai salah satu proofreader (yang juga editor di Gagasmedia). Selain itu, dia juga seorang penulis yang aktif melahirkan karya berupa cerita pendek.

2886980fab52f4a59e89ae8074dbedef

Nama: Jia Effendie

Twitter: @JiaEffendie
Facebook

Goodreads

Web

Blog

Penulis favorit: Neil Gaiman, Jostein Gaarder, Seno Gumira Ajidarma, Pramoedya Ananta Toer, Roald Dahl.

Menurut Jia, London itu identik dengan:

Kabut, gerimis, Shakespeare, sihir.

Seandainya Jia diminta untuk menulis novel STPC, di mana lokasi yang menurut Jia paling keren untuk dijadikan setting?

Hmm… di mana, ya? Dari dulu sih aku kepingin nulis yang settingnya di Pantai Selatan #halah. Tapi ga masuk sama konsep STPC

OMG, horror jugaPantai Selatan, hihihi. Satu kata yang mewakili London:

Gloomy

Kita berandai-andai ya ^^. Kalau Jia boleh mengajak satu penulis luar negeri untuk terlibat dalam proyek STPC, siapa yang ingin Jia ajak?

Hmm hmm… ga kepikiran

Apa proyek novel selanjutnya yang akan Jia garap? Apa ada rencana untuk merilis novel sendiri?

Ada proyek serial lainnya setelah STPC dan SCHOOL. Tunggu aja. Rencana merilis novel sendiri? Tentu saja!

Ada tips singkat untuk penulis baru yang ingin mengirim naskahnya ke Gagasmedia? Apa yang harus diperhatikan?

Perhatikan benar kelengkapannya. Formulir harus diisi dengan benar, dan tulislah sinopsisnya semenarik mungkin dengan gaya bahasa lugas (jangan kebanyakan pakai metafor, ya, karena ini sinopsis). Sinopsis adalah bahan jualan kamu. Terus, pastikan naskahmu enggak dimulai dengan kalimat: “Seperti biasa, hariku dimulai dengan suara alarm…” atau “Matahari bersinar cerah.”

Tulis naskahmu dengan EYD yang benar. Minimalisasi kesalahan ketik. Artinya, edit dan edit lagi naskahmu sebelum dikirim ke penerbit.

Terima kasih banyak atas waktunya untuk menjawab pertanyaan dari saya.

Jangan kemana-mana karena masih ada postingan review, wawancara dengan penulis #STPC dan pengumuman pemenang STPC Giveaway.

Kisses,

20130725-125307.jpg

#STPC Interview: Meet the Author Windry Ramadhina @Gagasmedia

20130819-105102.jpg

windrySudah lebih dari setengah bulan kita keliling dunia bersama serial Setiap Tempat Punya Cerita. Nggak kerasa kita sudah melewati London kemarin. Sebelum terbang ke destinasi selanjutnya, Lust and Coffee berhasil mencegat penulis London: Angel yang karyanya sudah sangat dikenal, antara lain Memori dan Montase yang banyak disukai pembaca. Penasaran dengan pembuatan London di balik layar? Simak wawancara dengan Windry Ramadhina berikut ini ^^

Dapat ide untuk novel London dari mana? Siapa yang menentukan ‘destinasi’ judul cerita dalam serial ini: penulis, editor, atau sistem undian?

London, sama seperti novel saya yang sebelumnya: Montase, merupakan pengembangan dari cerpen. Pada 2008, saya menulis cerpen berjudul “Singin’ In The Rain” yang terinspirasi dari lagu berjudul sama gubahan grup musik Jepang L’Arc~en~Ciel. Cerpen itu mengambil lokasi di hadapan London Eye, berkisah tentang pemuda Indonesia dan gadis Eropa misterius yang bertemu secara singkat di bawah hujan. Saat diminta menulis London, saya teringat pada cerpen itu.

Sebagai novel, pastinya London memiliki kisah yang jauh lebih rumit dari “Singin’ In The Rain”. Tetapi, unsur utamanya tetap sama: hujan, malaikat, dan keajaiban cinta. Hujan sangat dekat dengan London. Dan, saya punya kepercayaan tersendiri mengenai hujan. Kepercayaan ini yang ingin saya bagikan kepada pembaca.

Mengenai ‘destinasi’, kota-kota ditentukan oleh editor. Untuk Gagasmedia: Paris, Roma, Melbourne, London, dan Tokyo. Penulis-penulis diminta untuk memilih salah satu kota. Saya memilih London karena sejak lama ingin mengembangkan “Singin’ In The Rain” menjadi novel.

Saya suka sekali dengan nama kedua tokoh dalam novel ini: Gilang dan Ning. Dapat ide untuk menamakan tokoh dari mana?

Terima kasih. Dalam London, saya sengaja menghindari nama yang berbau Inggris untuk tokoh utama Indonesia agar pembaca bisa menikmati suasana perjalanan dan keterasingan. Jadi, saya memilih nama yang sangat Indonesia. Gilang berarti ‘cahaya’. Ning berasal dari kata ‘bening’. Keduanya adalah sesuatu yang tercetus saat saya memikirkan malaikat.

Sebenarnya, tokoh-tokoh London yang diberi nama hanya mereka yang memiliki peranan penting dalam cerita: Gilang, Ning, Ellis, Lowesley, dan Ayu (jika dirangkai, nama mereka akan membentuk angel). Sementara itu, tokoh-tokoh pendukung tidak diberi nama. Mereka sebatas mendapat julukan: Brutus, Hyde, V, dll. Julukan-julukan mereka diambil dari tokoh-tokoh fiksi terkenal. Ini supaya pembaca tidak bingung–supaya saya tidak bingung juga.

Butuh berapa lama untuk riset novel ini?

Lima bulan–ini waktu yang diberikan oleh editor kepada saya untuk menulis London. Saya riset sambil menulis.

Sebutkan tiga kata yang dapat mewakili London!

London sebagai kota atau London sebagai novel?

Sebagai kota: Sendu. Kuno. Tetapi, sekaligus modern.

Sebagai novel: Hujan. Malaikat. Cinta

Cover London keren banget! Apa penulis punya andil dalam menentukan cover buku?

Penulis selalu dimintai pendapat oleh desainer sampul. Tetapi, hasil akhir sangat ditentukan oleh suara redaksi, staf promosi, dan staf pemasaran. Saya setuju sampul London cantik. Warnanya sesuai dengan harapan saya: merah. Sangat London.

Punya kenangan khusus dengan London?

Kenangan khusus? Tidak ada. Tetapi, ketertarikan saya pada London berawal dari Tate Modern, galeri seni kontemporer yang dirancang oleh arsitek kesukaan saya. Dan, ternyata London memang kota seni. Karena itu, saya banyak bercerita tentang seni dalam novel ini.

Ada kejadian menarik selama proses penulisan novel London?

Proses penulisan London mengalir secara mengherankan. Para tokoh, konflik mereka, dan lokasi-lokasi tercetus dengan mudah, lalu terangkai satu sama lain dengan sendirinya. Seolah-olah, semua itu sudah lama bersembunyi dalam kepala saya. Padahal, tidak.

Saat memilih Fitzrovia, saya tidak tahu daerah itu adalah pusat seni–bidang yang kebetulan ditekuni oleh Ning. Saya jatuh cinta pada Fitzrovia karena suasananya–pada Fitzroy Tavern, lebih tepatnya. Dan, di sana ada gang yang sangat pas untuk dijadikan tempat tinggal Ning, yang sesuai dengan bayangan saya: Colville Place. Letaknya hanya seratus meter dari Fitzroy Tavern. Di sekitarnya, banyak galeri-galeri kecil–yang kemudian memunculkan tokoh Finn.

Lalu, tidak jauh ke arah Soho, ada toko payung tua bernama James Smith & Sons. Payung adalah elemen penting dalam London, sangat erat kaitannya dengan ide dasar cerita. Dan, di sebelah Tate Modern, tempat kerja Ning, ada Shakespeare Globe Theatre yang mewakili dunia Gilang: sastra. Toko payung, galeri, dan teater itu sendiri sangat menginspirasi.

Adakah curhat terselubung dalam novel London?

Banyak hal yang saya suka atau percaya tertuang dalam London, tetapi saya tidak curhat dalam tulisan.

Apa proyek selanjutnya yang akan Windry kerjakan setelah London?

Saya baru saja menyelesaikan naskah dewasa muda beberapa waktu lalu. Naskah tersebut sedang dibaca editor. Ada juga naskah lain yang sempat terbengkalai lama dan saat ini saya berusaha menyelesaikannya. Setelah itu, mungkin saya akan melanjutkan kisah Gilang. Atau, menulis roman sejarah. Atau, rehat. Saya belum tahu.

Lagu yang cocok sambil menikmati novel London?

Saya rasa, lagu bukan sesuatu yang pas untuk melengkapi London, melainkan hujan. Hujan yang malu-malu, ditambah sofa yang nyaman, kopi atau teh hangat, dan jendela di sisi yang sesekali bisa kita intip di sela-sela bab.

Tetapi, kalau memang menginginkan lagu, coba dengarkan “Singin’ In The Rain” L’Arc~en~Ciel yang menjadi sumber inspirasi novel ini.

Terima kasih banyak atas waktunya untuk menjawab 10 pertanyaan dari saya ^^

Jangan kemana-mana, karena minggu depan ada liputan London: Angel Tea Party with Windry Ramadhina. So, stick around ^^

Kisses,

20130725-125307.jpg

Meet The Reader: Dian

dian

Ketemu lagi bersama Lust and Coffee dalam segmen Meet the Reader. Fitur ini baru kali ini dilaunching yang rencananya akan diadakan rutin tiap dua bulan sekali.

Kali ini Lust and Coffee berkesempatan untuk berbincang bersama Dian yang merupakan salah satu pembaca blog ini.

Dian yang berusia 24 tahun ini bekerja di suatu instansi pemerintahan. Di sela kesibukannya sebagai PNS, Dian selalu menyempatkan diri untuk mengikuti event menulis juga membaca buku sambil berlatih menulis.

SImak wawancara Lust and Coffee dengan Dian berikut:

 

Sejak kapan suka membaca?

Aku suka membaca sejak kecil, mungkin sekitar kelas 1 SD. Aku mulai suka membaca karena ibuku berprofesi sebagai guru SD dan sering meminjamkan buku dongeng bergambar dari perpustakaan tempat beliau mengajar.

Awalnya ibu meminjamkan buku-buku tersebut agar aku segera lancar membaca. Namun hal positif lainnya adalah kegiatan tersebut menyadarkan  aku bahwa membaca lebih mengasyikkan ketimbang menonton TV.

 

Ya, saya setuju banget dengan kamu. Membaca jauh lebih menyenangkan daripada menonton TV. Lalu, sejak kap;an kamu mulai ngeblog?

Dunia perblogeran ini masih sangat baru untukku. Aku baru membuat blog bulan Maret 2013 lalu. Makanya postinganku masih sedikit banget 😀

Aku mulai menjajal ‘blog’ saat ada giveaway yang mengharuskan penggunaan blog. Dan sejak itu aku mulai mengenal asyiknya ngeblog. Setidaknya, gara-gara blog aku bisa sedikit mewujudkan mimpiku yaitu tulisanku dibaca banyak orang.

 

Apa yang kamu sukai dari ngeblog?

Blog memacu kita untuk menulis. Setelah ngeblog, aku jadi lebih rajin menulis. Blog itu seperti pendorongku agar aku ingat bahwa menulis adalah bagian dari hidupku. Dulu sebelum aku kenal blog, aku menulis jika ingin menulis saja, hanya ketika ide bersarang di kepala. Sekarang, aku tidak harus menunggu ide datang untuk menulis karena ada blog yang harus diupdate.

 

Sebutkan  satu novel yang sangat berkesan buatmu. Berikan alasannya juga ya.

Bangkok: The Journal by Moemoe Rizal.

Banyak bagian dari novel ini yang membuatku menyadari ternyata sebuah keluarga punya arti yang sangat dalam. Seberapa buruknya keluarfga itu, tetap saja mereka keluarga. Seberapa kita tidak menyukai pilihan dari salah satu anggota keluarga kita, tetap saja mereka keluarga. Seberapa kita benci pada mereka, mereka pergi, tetap saja ada rasa tak rela dan sakit yang menghinggapi.

Edvan dan Edvin  adalah tokoh kontroversi yang belajar hidup lebih baik dari sebuah kesalahan. Dan aku ingin selalu belajar dari sebuah kesalahan seperti mereka, maju terus tanpa mau menhiraukan rasa sakiit dari kesalahan yang sudah terjadi. Maju terus untuk bertemu mimpiku yang akan terwujud suatu saat nanti.

 

Amin, Saya doakan juga ya, Dian. Jika kamu menjadi tokoh fiksi, kamu ingin jadi siapa?

Syiana, tokoh di novel ‘Restart’-nya Nina Ardianti.

Alasannya, bagiku hidup Syiana terasa sangat menyenangkan. Ya walaupun awalnya dia harus merasakan menjadi bagian dari keluarga broken home dan harus menerima kenyataan diselingkuhi. Tapi dia punya pekerjaan yang menjanjikan. Dia juga punya hidup yang dikelilingi orang-orang menyenangkan seperty Edyta dan Ilham, juga keluarga Edyta. Syiana juga dicintai Ferdian Arsjad, membuat hidupnya menjadi sempurna.

Pernah punya pengalaman menarik yang berhubungan dengan kesukaanmu membaca?

Saat aku kelas 2 SMA, aku sering kali membaca novel saat jam pelajaran, terutama pada saat mata pelajaran membosankan seperti PPKN atau Kimia. Hasilnya, kalau nggak kena tegur, aku disuruh keluar.

Hal positifnya, membaca membuatku sadar untuk bisa menghasilkan bacaan seru seperti yang sudah kubaca. Dan itu membuatku untuk mencoba menulis. Kelas 3 SMA karyaku bisa muncul di tabloid remaja untuk pertama kalinya. Sejak saat itu aku jadi tahu akan mimpiku yang sebenarnya.

 

Woaah, congrats, ya. Seandainya kamu diberi kesempatan untuk bertemu seorang penulis, siapa dan apa yang ingin kamu lakukan dengannya?

Aku ingin ketemu Moemoe Rizal dan Nina Ardianti. Kalau ketemu mereka, aku mau mencuri kemampuan menulis mereka. Tenang, aku nggak akan menggunakan ilmu hitam untuk mencuri iklmu, paling aku minta diajari secara intensif. Aku ingin meminta mereka memberikanku metode-metode ampuh untuk menulis. Oiya, aku juga nggak akan melewatkan kesempatan foto bareng dan minta tanda tangan. Nggak mau rugi deh pokoknya 😀

 

Terima kasih ya sudah menjawab 7 pertanyaan dari saya.

Terima kasih kembali, Mbak. Senang bisa diberi kesempatan seperti ini.

 

Nantikan wawancara Lust and Coffee dengan pembaca lainnya di lain kesempatan.

Hugs,

20130716-060442.jpg

#STPC Interview: Meet the Author Riawani Elyta @Bukune

20130819-105102.jpg

riawani

Halo,

Ketemu lagi dengan segmen Meet the Author. Setelah membahas novel First Time in Beijing, kali ini Lust and Coffee berhasil mewawancarai penulisnya, Riawani Elyta. Simak interview berikut tentang tidbits di balik pembuatan novel First Time in Beijing.

Bisa diceritakan dari mana dapat ide untuk novel First Time in Beijing?

Idenya terinspirasi dari film seri “Kitchen Musical” yang dibintangi Christian Bautista. Bagi penggemar film seri populer, film seri ini mungkin terasa monoton, karena settingnya hanya di restoran dan diselingi tarian dan nyanyian seperti opera. Tetapi bagi saya, disitu letak keunikannya. Ini film seri pertama pernah saya tonton, yang menyajikan dunia kuliner secara komplit. Bahkan konflik antar tokohnya pun, masih terhubung dengan aktivitas kuliner. Awalnya saya ingin menulis novel Beijing ini dengan hampir semua settingnya di restoran, seperti film tersebut, tetapi mengingat proyek STPC adalah penggabungan kisah cinta dan travelling, maka tempat-tempat lain di Beijing turut dijadikan setting, sehingga pembaca juga bisa merasakan petualangan tokohnya (Lisa) saat pertama datang ke Beijing selain lika-likunya bergelut di dunia restoran

Tema novel ini menarik, cooking competition. Apa Ria suka memasak? Dapat darimana idenya?

Tidak. Saya lebih suka membuat kue J Idenya dari keinginan saya untuk menyajikan cerita tentang perjuangan dalam dunia usaha, saya pilih kuliner karena saya suka excited kalau membayangkan makanan J. Selain terinspirasi dari film Kitchen Musical, juga dari novel Jepang berjudul Kitchen, ini tentang kecintaan tokohnya pada dapur dan semua elemen dapur termasuk makanan. Jadi melalui novel ini, saya juga ingin menyampaikan bahwa kesuksesan itu harus diperjuangkan, dengan disiplin dan komitmen kuat untuk belajar, dan salah satu kuncinya adalah dengan memiliki passion atau mencintai aktivitas yang kita lakukan

Berapa lama proses penulisan novel ini?

Proses penulisannya sekitar 2 bulan, plus revisi, totalnya sekitar 3 bulan

Satu kata yang bisa mendeskripsikan Beijing:

Cinta – kuliner – chef – kultur : Novel yang merupakan harmonisasi kisah cinta, perjuangan, keteguhan hati, kasih sayang keluarga, dilatarbelakangi dunia kuliner, kultur bisnis orang china dan setting kota Beijing sebagai salah satu pusat peradaban dunia

Jika novel First Time in Beijing difilmkan, siapa yang cocok untuk memerankan:

Lisa : Laura  Basuki

Daniel : Glenn Alinskie / Roger Danuarta

Yu Shiwen : Agnes Monica / Chelsea Olivia

Saya suka dengan novel berbau kultur, seperti Beijing ini. Apa yang dilakukan Ria ketika riset? Apa ada model keluarga asli seperti keluarga Lisa?

Saya mengumpulkan semua bahan tertulis yang bisa mendukung proses penulisan, diantaranya travelling guide negeri China, kumpulan chinese wisdom, kultur masyarakat china, kamus online bahasa Mandarin juga wawancara tertulis tentang terjemahan bahasa pada teman yang pernah bekerja di Hongkong.

Kalau model keluarga asli tidak ada, jadi keluarga Lisa hanya fiktif belaka. Tetapi sebagian pengalaman Lisa bersumber dari pengalaman saya juga, saya pernah tinggal di luar negeri bersama keluarga yang anak-anaknya sama sekali nggak peduli dengan saya.

Ada pengalaman menarik selama proses penulisan novel ini?

Yang menarik menurut saya, adalah ketika proses revisi novel ini. Pada saat yang sama, saya juga sedang menulis empat novel lain yang rata-rata punya deadline sekitar 1-2 bulan atas order penerbit juga yang saya tulis untuk diikutkan pada lomba novel. Maka, pada waktu yang benar-benar hectic ini, saya harus bisa membagi fokus yang sama besar juga menjaga agar “feel” tokoh cerita yang berbeda-beda itu tidak tertukar-tukar atau justru seragam, mengingat semua novel punya karakter tokoh utama yang berbeda-beda. Mengerjakan ini benar-benar jadi tantangan tersendiri buat saya, karena baru kali pertama, saya mengerjakan beberapa novel dalam waktu bersamaan dan masing-masing terikat dateline yang ketat. Jadi untuk menyiasatinya, dalam sehari saya bagi waktu, pagi untuk nulis novel A, sore untuk novel B, malam untuk novel C. Saya juga pasang target dalam sehari minimal saya harus bisa menulis 5 halaman

Bisa share playlist yang Ria dengarkan ketika menggarap novel ini?

Saya nggak pake playlist, selama ini, satus-satunya novel saya yang ditemani playlist hanya “Yang Kedua” (Bukune, 2012) karena ini memang novel tema musikal. Kalo pake playlist, saya malah nggak konsen nulis.

Apa proyek novel selanjutnya yang akan Ria kerjakan?

Saya sedang menulis novel romance dengan latar belakang penyelamatan lingkungan, dalam hal ini penyelamatan satwa langka, progress-nya baru jalan tiga puluh persen, dan insya Allah akan diterbitkan di Bukune juga.

Ada tips singkat untuk penulis yang ingin mengirim naskahnya ke Bukune? Apa saja yang harus diperhatikan?

Kenali segmen Bukune dengan cara membaca novel-novel terbitannya, tulis cerita sesuai segmen tersebut dengan plot dan alur yang baik, ketik yang rapi lalu penuhi semua syarat pengiriman sebelum mengirim naskah. Jangan lupa berdoa yang khusyu agar naskahnya diterima.

Terima kasih banyak untuk wawancaranya yang menyenangkan. Ditunggu karya Ria selanjutnya ya ^^

Until next time.

20130725-125307.jpg

 

#STPC Interview: Meet the Cover Designer Jeffri Fernando @Gagasmedia

20130819-105102.jpg

jef

Surprise, surprise, siapakah yang kali ini berhasil Lust and Coffee culik untuk diinterview? Yes, Ko Jeffri Fernando, yang namanya sering kita lihat di novel-novel terbitan Gagasmedia. Berkat sentuhan ajaib tangannya, novel terbitan Gagas menjadi lebih berwarna dan memiliki personality. Yuk kita tanya-tanya tentang kesan Ko Jeffri selama menggarap proyek #STPC ini.

Ko Jeffri, saya jatuh cinta dengan semua cover serial STPC. Dapat ide dari mana sebelum menciptakan cover indah Roma, Bangkok, dan Paris?

Konsep desain STPC berasal dari Christian (kepala desk fiksi), yaitu desain HIPSTER RETRO (kombinasi dari garis-garis simpel ilustrasi masa kini dengan sentuhan finishing zaman dahulu). Dia memberi saya berbagai gambar untuk referensi.
Saya lah yang menerjemahkan konsepnya ke bahasa visual yang lebih matang, sekaligus membuat design template untuk cover STPC GagasMedia berikutnya.
Ide didapat dari membaca naskahnya dan browsing gambar vintage tentang kota-kota tersebut.

 

Bisa diceritakan bagaimana proses design cover mulai dari ide awal hingga hasil akhir?

Biasanya, proses desain saya sebagai berikut:
1. Baca naskah
Untuk fiksi, saya pasti membaca seluruh naskahnya sambil mencatat memorable scenes, premis, konflik, setting tempat yang unik, penggambaran karakter, objek penting yang digunakan tokohnya, serta feel keseluruhan setelah membaca buku ini.
Sedangkan untuk nonfiksi, terkadang saya cukup membaca cepat saja.
Bila ide belum juga muncul setelah membaca naskah, saya bertanya ke editor atau penulis tentang bayangan mereka akan cover buku ini. Apa yang perlu ditonjolkan, bagaimana gaya ilustrasinya, dsb.

2. Riset
Saya mengumpulkan semua informasi dan gambar tentang tema naskah yang bersangkutan, dan juga  berdasarkan catatan yang saya buat saat membacanya. Misalkan temanya LDR (long distance relationship), saya akan mencari tahu bagaimana pasangan LDR berkomunikasi, apa konflik yang biasanya terjadi, apa simbol LDR. Lalu saya juga mencari tahu apakah ada buku pesaing bertema seperti ini? Kalo iya, seperti apa desainnya? Desain seperti apa yang disukai target pembaca naskah ini?

3. Brainstorming
Pada tahap ini, saya membuat sketsa kasar untuk desainnya, berdasarkan materi riset. Yang penting adalah kuantitas.

4. Draft awal
Dari hasil brainstroming, saya memilih minimal 3 buah desain untuk dikembangkan lebih lanjut.

5. Revisi (kalau ada)
Bila draft awal tidak disetujui tim redaksi dan penulis, perlu dilakukan revisi.

6. Finishing
Setelah ada 1 desain terpilih, saya akan lanjut ke tahap finalisasi desain untuk dicetak.
Butuh berapa lama untuk mendesign satu cover novel?
3 – 4 hari. Belum termasuk revisi.

 

Satu kata yang mewakili:

Bangkok: Exotic

Roma: Historic

Paris: Artsy

Biasanya memakai program apa untuk mendesign cover novel?
Adobe Photoshop dan Illustrator.

Di antara ketiga novel ini: Bangkok, Roma, Paris, mana yang paling Ko Jeffri suka?
Hmmmm agak susah. Ini seperti harus memilih anak favorit.
Design wise, saya menyukai ketiganya karena alasan yang berbeda.
Cover Paris cantik.
Roma membuai dengan nuansa vintagenya.
Untuk Bangkok, saya suka ornamen dan warnanya.

Ada kejadian menarik selama proses mendesign cover novel?

Saya selalu menemukan hal-hal baru setiap membaca naskah untuk didesain covernya. Tempat baru, kebiasaan baru, profesi baru, dan lainnya. Buat saya, pengetahuan baru itu selalu menarik.

Punya lagu favorit untuk didengarkan saat mendesign cover?
Tergantung naskahnya. Kalau ceritanya sedih, saya membuat playlist lagu-lagu sedih to set the mood.
Kalau ceritanya lucu atau gembira, playlist saya pasti lagu-lagu berirama riang.
Tapi lagu yang paling sering saya putar adalah suara rintik hujan. Biasanya kalau sedang stuck, saya memutar lagu ini untuk menenangkan pikiran dan melancarkan arus ide.

Terima kasih banyak untuk interviewnya yang sangat menyenangkan ^^
Sama-sama ^_^

 

Jangan lupa untuk tetap mengunjungi Lust and Coffee karena program giveaway novel-novel STPC masih beerlanjut.

Until next time^^

20130725-125307.jpg

 

#STPC Interview: Meet the Editor Ibnu Rizal @Gagasmedia

20130819-105102.jpgibn

STPCBKK

Bisa diceritakan bagaimana proses novel serial STPC, mulai dari ide, brainstorming, hingga pemilihan penulis?

Dua naskah, ROMA dan BANGKOK, datang pada saya ketika pembuatan konsep dan pemilihan penulis telah selesai. Jadi saya tidak terlibat langsung dalam tahap awal proyek ini.

Apakah Mas Ibnu suka traveling? Jika diberi 1 tiket gratis, Mas Ibnu memilih pergi ke Roma atau Bangkok? Alasannya?

Tentu saya sangat suka jalan-jalan. Dengan berkelana, kita melihat apa yang selama ini luput dari ruang lingkup tatapan kita. Roma dan Bangkok adalah dua kota yang sangat menarik. Saya ingin pergi ke dua kota itu, hahaha…

Curang, hihihihi. Ada pengalaman menarik sewaktu mengedit novel-novel STPC?

Ketika menyunting novel BANGKOK, saya harus memeriksa kembali kebenaran data yang ada. Saat itulah saya tahu tempat-tempat prostitusi yang meriah di kota itu, hahaha…

Oalah, pasti Patpong dan sekitarnya ya, hahaha. Mas Ibnu menjadi editor untuk novel Roma dan Bangkok yang dua-duanya ditulis oleh pria. Apakah sengaja ingin mengedit novel pria atau memang kebetulan?

Kebetulan saja. Meskipun sesungguhnya saya tertarik menggarap karya bersama penulis-penulis pria. Mereka pasti punya ide liar dan orisinal, hahaha…

Berapa lama waktu yang diperlukan untuk membuat sebuah novel, mulai dari awal hingga selesai editing?

Proses lahirnya sebuah novel (atau karya fiksi pada umumnya) berbeda satu dari yang lain. Untuk novel populer biasanya lahir lebih cepat, antara tiga hingga empat bulan. Saya percaya, karya yang baik adalah karya yang lahir dari proses panjang dan tidak tergesa-gesa.

Seandainya Mas Ibnu diminta untuk menulis novel STPC, di mana lokasi yang menurut Mas paling keren untuk dijadikan setting?

Saya akan menulis tentang wilayah-wilayah yang luput dibicarakan orang banyak. Kalaupun cukup dikenal, daerah itu terlanjur dilihat sebagai lokasi yang rawan konflik dan berbahaya. Saya pikir banyak pembaca muda yang juga tertarik dengan latar ruang seperti itu. Tel Aviv, misalnya. Kota ini sangat menarik dan punya banyak potensi cerita. Tidak usah jauh-jauh, di Indonesia ada puluhan kota yang keren dan mengejutkan. Jika digali dengan cermat, bisa jadi karya hebat.

Satu kata yang mewakili (judul-judul novel sbb):

Roma: Hangat

Bangkok: Seksi

Kita berandai-andai ya ^^. Kalau Mas Ibnu boleh mengajak satu penulis luar negeri untuk terlibat dalam proyek STPC, siapa yang ingin Mas ajak?

Hmmm… Siapa ya? Saya tidak banyak mengenal penulis luar. Tapi mengajak penulis asing untuk menulis cerita berlatar kota-kota menarik di Indonesia akan jadi proyek yang bagus. Mereka pasti punya visi yang khas tentang Indonesia.

Apa proyek novel selanjutnya yang akan Mas Ibnu garap?

Secara mandiri, saya sedang melakukan riset sederhana tentang cerita-cerita horor di Indonesia dari masa ke masa. Berangkat dari ketertarikan saya pada setan dan hantu, saya tengah mengerjakan proyek cerita-cerita horor yang khas Indonesia. Cerita horor tidak ada matinya. Pembacanya selalu ada, bahkan banyak. Namun karya-karya horor Indonesia sekarang (film dan buku) tidak digarap dengan baik, sehingga tidak jadi sesuatu yang berarti.

Ada tips singkat untuk penulis baru yang ingin mengirim naskahnya ke Gagasmedia? Apa yang harus diperhatikan?

Banyaklah membaca buku-buku karya sastrawan atau penulis Indonesia, terutama karya-karya klasik. Dengan demikian kita punya pengetahuan yang baik tentang cara tutur dan teknik bercerita yang khas Indonesia. Galilah tema-tema baru dan menantang. Lihat dunia di sekitar kita, sebab di sana tersedia inspirasi yang tak ada habisnya.

Terima kasih banyak sudah berbagi dengan Lust and Coffee. Ditunggu karya Mas Ibnu selanjutnya ya ^^

20130725-125307.jpg

P.S. Stay tuned karena masih ada kesempatan untuk memenangkan novel-novel STPC selama bulan September 🙂